Nano Riantiarno
Norbertus Riantiarno atau yang akrab disapa Nano lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949. Ia menggeluti seni teater sejak tahun 1965 di Cirebon. Setamat SMA, ia kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta. Tahun 1968, ia mendirikan Teater Populer bersama Teguh Karya. Nano sempat berkeliling Indonesia untuk mempelajari teater rakyat dan seni tradisi pada tahun 1975. Lalu, ia bersama sejumlah rekannya membentuk Teater Koma pada 1 Maret 1977.
Pada masa Orde Baru, karya garapan Nano sarat akan kritik atas pemerintah dan kondisi sosial. Hal ini pun sering menimbulkan masalah, mulai dari pencekalan hingga ancaman bom. Beberapa karyanya sempat dilarang pentas, di antaranya “Maaf.Maaf.Maaf.” (1978), “Sampek Engtay” (1989), serta “Suksesi” dan “Opera Kecoa” (1990). Bahkan pelarangan ini berujung pada pembatalan rencana pentas “Opera Kecoa” di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, dan Hiroshima) pada 1991 karena dianggap tidak mendidik. Tapi setahun kemudian, Opera Kecoa akhirnya tampil di Belvoir Theatre Sydney, Australia.
Karyanya yang berjudul “Sampek Engtay” mengadaptasi lakon klasik Cina yang latar peristiwanya dipindahkan ke daerah Banten. Lakon itu berhasil meraih Hibah Seni Kelola 2002 kategori Pentas Keliling sehingga dapat berpentas Tangerang, Lampung, dan Jambi setelah sebelumnya dicekal di Medan beberapa tahun lalu. Meski sempat dilarang pentas, karya ini meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) tahun 2004 sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun.
Nano telah melahirkan ratusan produksi panggung dan televisi. Sejumlah penghargaan telah diterimanya baik dari dalam dan luar negeri. Ia juga menulis novel, salah satunya “Ranjang Bayi dan Percintaan Senja” yang memenangkan Sayembara Novelet Majalah Femina dan Sayembara Novel Majalah Kartini. Pada tahun 1998, Nano turut mendirikan Asia Art Net (AAN), organisasi seni pertunjukan yang beranggotakan sutradara-sutradara se-Asia.