Gema Swaratyagita
Lahir di Jakarta pada 8 Januari 1984, Gema Swaratyagita mengenal musik sejak usia dini. Sejak usia 4 tahun, orang tuanya sudah mendaftarkan Gema ke Kursus Musik Anak (KMA) Yamaha. Lalu, ia mempelajari piano klasik dengan sejumlah guru. Ketika memasuki jenjang kuliah, Gema belajar di dua tempat sekaligus, yaitu Jurusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan Pendidikan Sendratasik Jurusan Seni Musik Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Di sinilah Gema mulai berkecimpung dalam aktivitas seni, mulai dari teater, orkestra, hingga organisasi seni lainnya.
Saat remaja, Gema lebih menggandrungi musik band. Gairahnya pada musik klasik kembali setelah mendalami pembawaan dan interpretasi musik dengan seorang guru piano, Endang Retnowati. Gema semakin menekuni bidang komposisi musik dan memulai proyek pertamanya sebagai tugas akhir kuliah di UNESA dengan karya berjudul Tarian Pelangi. Oleh karena minimnya referensi tentang musik kontemporer, seorang teman menyarankannya untuk menemui Slamet Abdul Sjukur. Inilah bagian penting yang mempengaruhi proses kreatif Gema. Slamet banyak memberikan stimulus dalam proses berkarya, baik dari sisi analisis maupun struktur.
Selain Slamet, Gema juga pernah belajar elektroakustik dan audio dengan Andri Wirawan. Proses ini memengaruhi logika dan pengolahan musik Gema yang berhubungan dengan komposisi di audio. Pengalaman teater semasa di kampus rupanya mempengaruhi karya-karya Gema. Struktur maupun tampilan musiknya kerap diekspresikan secara teatrikal. Cara tutur dan logika dalam teater menginspirasinya dalam mengarang komposisi. Contohnya, dalam karya “Angin Rampas”, Gema mengeksplorasi suara-suara seseorang berpenyakit asma, mulai dari bernafas dan sesak nafas. Ia pun lihai meramu musik dan lirik layaknya dialog dalam sebuah teater.
Gema juga menggarap musik untuk film dan kolaborasi musik puisi. Ia sempat berproses bersama sastrawati Lan Fang dengan membuat lagu berdasarkan salah satu puisi dalam novelnya. Ia pernah mengirimkan komposisi untuk flute dan oboe bertajuk Serpih Biru untuk Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF) 2010. Kemudian, Gema meraih hibah program Empowering Women Artists untuk karya “Liring: Sound of Differences” (2012) dan “Laring 2 Ragahulu”(2013). Pada tahun 2018, ia mendapatkan Hibah Seni Kelola 2018 untuk karya “Tubuka”.