Indra Zubir
Indra Zubir yang lahir pada 5 Juni 1976 di Bukittinggi, Sumatra Barat tidak memiliki latar belakang keluarga seniman. Mulanya, Indra tertarik pada dunia tari karena melihat acara televisi, contohnya video klip Michael Jackson. Minatnya tersalurkan dengan bergabung pada kegiatan ekstrakurikuler tari di sekolahnya, bahkan aktif berkompetisi hingga meraih juara. Saat SMA, ia tekun belajar tari tradisi, seperti tari Piring dan Pasambahan di sanggar tari tradisi Balaikota Bukittinggi. Kemudian, Indra melanjutkan pendidikan tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Kuliah di IKJ membuka pergaulannya dengan koreografer ternama, salah satunya Boi G. Sakti yang juga memotivasinya menjadi penata tari kontemporer. Indra juga pernah menari untuk karya para koreografer senior, antara lain “Diagonal” (Epi Martison), “Irian Zoom” (Jecko Siompo), “Sakratul Maut” (Jefriandi Usman), “Waktu Itu” (Cilay), dan “Api dalam Sekam” untuk memperingati 1000 hari meninggalnya penata tari Gusmiati Suid. Selain itu, Indra pernah mengikuti lokakarya penata tari ternama dari mancanegara seperti Chandralekha (India), Kota Yamazaki (Jepang), dan Bangarra Dance Company (grup tari Aborigin Australia).
Meski bermula dari tari tradisi, Indra ingin memfokuskan karyanya pada kehidupan manusia masa kini. Tema yang diangkat berkisar tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam sekitar. Terkadang Indra memasukkan unsur tradisi Minang ke dalam karyanya. Tahun 2006, Indra meraih Hibah Seni Kelola kategori Karya Inovatif dan menghasilkan “4K4R: Baca, Ratok, Asmara, dan Candu” yang dipentaskan di Teater Utan Kayu. Dalam karya ini, Indra menggarap tradisi Minang dengan pendekatan kontemporer.
Indra aktif menggarap karya koreografi untuk berbagai perhelatan, salah satunya “Jamaah Cyber” (2000). Karya ini didukung 19 penari tampil di Gedung Kesenian Jakarta. Ia juga menata karya bersama Jecko Siompo, Hartati, Eko Supriyanto, dan Hanny Herlina berjudul “Saat” untuk tampil pada forum Five Pieces: New Dance in Indonesia di Museum Nasional Singapura (2007). Kelima koreografer ini dipilih untuk menampilkan karyanya masing-masing mewakili kebaruan tari Indonesia. Program Five Pieces: New Dance in Indonesia diprakarsai oleh Laksmi Pamuntjak dan Yayasan Utan Kayu.
Pada tahun 2008, Indra menampilkan “Paradoks dan Bintang Pagi”, sebuah karya interpretasi puisi berjudul “Bintang Pagi” karya Goenawan Mohamad. Karya ini ditampilkan dalam rangkaian program grand opening Teater Salihara yang bertajuk “Empat Koreografer Indonesia”. Acara ini juga menampilkan karya Hartati, Hanny Herlina, dan Fitri Setyaningsih.
Indra berhasil memperoleh Hibah Seni Pentas Keliling tahun 2013 dari Yayasan Kelola. Dengan konsep “Mix Tradisi Urban” yang menggabungkan unsur tradisi dengan tari masa kini (breakdance), Indra sukses membuat penonton di Surabaya, Solo, dan Jogja tertarik. Bahkan, penampilan yang ia bawakan di Gedung Cak Durasim Surabaya dan di Miroto Art Space (Sanggar Seni Banjarmili) Yogyakarta tidak menyisakan kursi sisa alias full house. Karyanya juga diliput oleh berbagai media online dan radio.
Pada tahun 2016, Indra menciptakan karya “Two Part of Buai”, “Buai Ranah” dan “Buai Rantau” dalam program Setouchi Triannale 2016-Asia Performing Art Market in Setouchi (APAM) 2016. Program ini merupakan acara perdana APAM 2016 dan Indra diundang langsung oleh panitia dari Jepang. Ia mengurus persiapan selama dua tahun secara mandiri hingga kemudian mendapat bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI agar bisa tampil di Jepang. “Two Part of Buai” juga diliput oleh media cetak Republika dan Kompas. Dalam prosesnya, Indra tidak mendapat bantuan dari seniman maupun kurator tari lain di Indonesia.