Teater Satu
Teater Satu didirikan di Lampung, 18 Oktober 1996 oleh Iswadi Pratama dan Imas Sobariah. Kelompok teater independen ini menjalankan program pendidikan, kebudayaan, sosial dan kesenian melalui pertunjukan seni, penelitian, diskusi, pelatihan dan apresiasi seni. Hal ini bertujuan untuk menginspirasi masyarakat untuk meraih nilai-nilai yang dapat mendorong terjadinya perubahan sosial. Selain itu, Teater Satu juga meningkatkan kapasitas para anggotanya melalui workshop penyutradaraan, workshop pemeranan, workshop artistik, serta workshop manajemen panggung dan organisasi. Saat ini, ada 25 anggota yang aktif berkarya bersama Teater Satu.
Sejak tahun 1998, Teater Satu bereksperimen dalam membangun hubungan pertunjukan teater dengan penonton. Mereka menelusuri berbagai kemungkinan agar pertunjukan yang dapat dinikmati semua kalangan. Selanjutnya, mereka meneliti seluruh pertunjukan Teater Satu dan mengukur reaksi penonton. Usai penelitian, mereka menerapkannya ke dalam repertoar bertajuk Warahan Aruk Gugat yang digelar tahun 1996. Repertoar ini berasal dari sastra lisan Lampung yang disebut Warahan, yakni bentuk sastra tutur atau dongeng. Mereka mempertemukan teater rakyat ini dengan teater modern yang biasa dipentaskan Teater Satu.
Teater Satu telah menggelar puluhan drama baik karya sendiri maupun karya penulis ternama seperti; Samuel Beckett, Anton Chekov, Jean Genet, N. Riantiarno, Arifin C Noer, dan Arthur S. Nalan. Pementasan lakon berjudul “Menunggu Godot” (Samuel Beckett) meraih Hibah Seni Kelola 2000 kategori Pentas Keliling yang dipentaskan di Yogyakarta, Solo, Taksikmalaya dan Bandung. Tahun 2016, Teater Satu berkolaborasi dengan penulis Australia, Sandra Thibodeaux dalam pertunjukan “The Age of Bones” yang ditampilkan di Indonesia (Lampung, Bandung, Tasikmalaya) dan Australia (Darwin, Melbourne, Sydney).
Teater Satu telah menorehkan beragam prestasi, di antaranya terpilih sebagai Teater Terbaik Indonesia versi Majalah Tempo pada tahun 2008 dan 2012. Berkat kiprahnya dalam pengembangan teater, Teater Satu meraih banyak dukungan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, aparat pemerintah, seniman, institusi swasta dan lembaga nonpemerintah. Meski demikian, Teater Satu menyiapkan sumber pendapatan lain dengan menanam kakao dan pisang kapok di lahan seluas 1 hektar untuk menghidupi keseharian mereka.