Oleh: Helly Minarti (Yogyakarta)
Di Bali, ketika wacana seni dan pariwisata sudah demikian paripurna mempengaruhi praktik dan dinamika seni pertunjukan, kehadiran Mulawali Institute – yang didirikan oleh enam orang praktisi seni sejak 2019 – menawarkan ruang yang berbeda melalui rangkaian upayanya membangun praktik berkesenian yang berdasarkan eksperimentasi artistik serta kritikalitas. Pertunjukan bertajuk The Voices After Cak! (selanjutnya kadang disingkat menjadi TVAC!) adalah salah satu laku dari praktik berkesenian mereka yang diniatkan sebagai refleksi atas pertunjukan yang diproduksi sebelumnya selama dua tahun terakhir, yaitu karya-karya berjudul The (Famous) Squatting Dance serta Membaca Sanghyang (baca: Proposal untuk Produksi Karya Inovatif Kelola). Kedua karya pendahulu ini berusaha menelisik ‘obyek’ koreografik seperti tari Kebyar Duduk atau Igel Jongkok karya I Ketut Mariya yang muncul di tahun 1930an serta mengulik Sanghyang – salah satu bentuk (form) tari ritual penolak bala. Namun, dalam kedua penelisikan ini, tidak hanya jejak sejarah yang ditelusuri namun juga penubuhannya dalam konteks tubuh Bali sehari-hari di dekade kedua abad ke-21.
Karya TVAC! juga diniatkan untuk menandai lahirnya proyek riset artistik ‘kolektif’ – istilah ‘kolektif’ ini deskripsi saya karena Mulawali menamakan diri mereka sebagai ‘lembaga riset pertunjukan’ – yang bertajuk Dekolonial Expo in Bali [sic!] yang akan berlangsung hingga tahun 2031. Proyek riset artistik ini sengaja akan diakhiri pada tahun 2031, bertepatan dengan seabad pertunjukan serangkaian tarian Bali di paviliun Hindia Belanda pada ajang Pameran Kolonial 1931 di kota Paris (Prancis).
Ditulis dan disutradarai oleh Wayan Sumahardika, TVAC! dibayangkan akan berbentuk teater-tari dengan enam penampil (performers). Cak! di sini diambil dari silabel dalam Tari Kecak yang amat populer sebagai tontonan untuk konsumsi para wisatawan dan telah menjadi satu fitur pertunjukan ikonik di Bali, jika tidak identik dengan salah satu citra pulau dewata itu sendiri. Citra puncak dari pertunjukan Kecak Ramayana adalah pementasan di ruang terbuka di Uluwatu menjelang matahari terbenam, dengan latar pemandangan alam yang spektakuler, menghadap lautan.
Pada proses penciptaannya, Mulawali Institute mengadakan presentasi publik – mungkin semacam berbagi proses kreatifnya – pada 2 Juni (yang tidak saya hadiri) dan berujung pada pertunjukan penuh di Sabtu, 28 Juni 2025. TVAC! dipentaskan di Restoran Masa Masa di desa Ketewel, sekitar 20 menit berkendara dari kota Denpasar. Pemilihan lokasi ini juga didasari pada hubungan yang selama ini terjalin, dan Masa Masa sendiri yang membuka ruang komersialnya untuk juga menjadi ruang kultural yang mengakomodasi agenda peristiwa seni bulanan yang diinformasikan di atas meja-meja di wilayah utama resto. Ruang pertunjukan mengambil lantai atas sisi samping resto yang berupa gabungan dua rumah gaya Melayu yang megah dan anggun, lengkap dengan akses tangga sendiri, tanpa harus mengganggu aktivitas komersial di lantai bawah (resto, toko barang antik dan butik).
TVAC! sebaiknya dialami secara lengkap, yaitu dalam bingkai kuratorial Mulawali Institute yang mengapit malam pertunjukan dengan dua sesi diskusi: yang pertama berlangsung di sore hari sebelum malam pementasan, dan yang kedua pada pagi setelah pementasan – yang terakhir ini berlangsung di markas baru Mulawali Institute di pinggiran Denpasar.
Pada sesi diskusi pra-pertunjukan, Suma (panggilan Wayan Sumahardika) menjabarkan dengan cukup mendetail perihal politik dan praktik berkesenian Mulawali Institute dimana riset artistik menjadi degup dari lembaga beraura kolektif seniman ini dalam memproduksi pengetahuan bersama. Dalam presentasinya, Suma menelusuri perjalanan Mulawali Institute sejak 2019 hingga kini, dengan contoh-contoh riset dalam konteks beberapa lokalitas di Bali, seperti keterlibatan dalam mendiskusikan joged bumbung yang sempat mengundang kontroversi, ataupun temuan tentang barong brutuk di Trunyan. Dipandu tiga kata kunci – spektakuralitas, intrakolonial dan mikroskopik – Mulawali Institute menelisik rangkaian studi kasus tersebut yang merupakan elaborasi dari adanya tatapan orientalisme yang bekerja di pulau dewata sejak lama, salah satu aspek historis yang membuat wacana pariwisata kini menjadi begitu dominan. Diskusi keesokan harinya – dihadiri sekitar 10an orang, termasuk beberapa anggota Mulawali – berlangsung santai dan dipandu oleh Ugoran Prasad. Kali ini, percakapan memfokuskan pada sudut pandang dan pengalaman penonton.
Suma menegaskan jika The Voices After Cak! tidak melihat Kecak sebagai sebuah arsip (berkaitan dengan sejarah penciptaannya, misalnya), melainkan ingin menggunakan Kecak sebagai ‘..metode untuk mempercakapkan getaran sebagai praktik sosial tubuh dan koreografi serta relasinya dengan ikatan kerumunan warga’. Melalui TVAC!, Kecak ditimbang menjadi pintu masuk bagi para penari (penampil) untuk berdialog satu sama lain.’ Intinya, Kecak menjadi semacam jangkar dan arsip ketubuhan melalui ucapan cacophonic ‘… cak cak cak cak’ dan getaran tubuh yang dihasilkannya. Dari penuturan ke-enam penari di sesi diskusi, tergambar bagaimana metode ketubuhan dimana suara menghasilkan getaran menjadi penting, dan kebanyakan dari mereka mengalami kesulitan menguasainya. Secara naratif, jalinan teks yang ada adalah rangkaian fragmen biografi mini yang digali dari kehidupan keenam penampil, yang lantas disusun sebagai kisah/cerita selapis demi selapis.
Kecak – Sang Sumber dan Jangkar
Kecak adalah bentuk seni (pertunjukan) sekular yang secara luas dipahami sebagai buah kolaborasi antara Walter Spies – seniman asal Jerman yang bermukim di Bali sejak akhir 1920an hingga 1942 – dan penari I Wayan Limbak di awal 1930an, di desa Bedulu, Gianyar (Dibia, 2000). Secara dramaturgis, pertunjukan ini mengetengahkan para lelaki pengecak yang diambil dari salah satu bagian atau alur tarian ritual Sanghyang Dedari, yang hanya dipentaskan di saat-saat tertentu sebagai ritual penolak bala.
Spies dan Limbak mengembangkan Kecak dengan lelaki para pengecak sebagai gamelan vokal yang mengiringi para penari menarikan episode dari Mahabharata atau Ramayana. Dari tahun 1930an, Kecak memang dipentaskan sebagai atraksi hiburan bagi para wisatawan/turis (Stepputat, 2010). Pada kurun kurang lebih sama, Kecak juga ditengarai berkembang di Desa Bona, Gianyar, yang dikembangkan oleh I Gusti Lanang Oka dan I Nengah Madarya (Dibia, 2000: 7). Seiring berjalannya waktu, Kecak mengalami perubahan, dan pada tahun 1969, ia dikenal sebagai Kecak Ramayana, dan versi inilah – dengan mengusung plot Penculikan Sita – yang kemudian dikembangkan dan distandarisasi hingga menjadi bentuk yang kini dikenal luas. Hingga sekitar 15 tahun silam, ada sekitar 20 kelompok Kecak yang rutin tampil di Bali selatan dalam konteks turisme; biasanya melibatkan sekitar 100 pengecak dengan penari hingga 12 orang (Stepputat, 2010).
Seratus lelaki pengecak inilah yang mengucapkan silabel ‘cak cak cak’ dalam pola saling mengunci (interlocking) yang ritmis. Dalam posisi duduk atau kadang berdiri, mereka bergerak dari satu posisi ke posisi lain sambil menggerakkan bagian atas tubuh mereka dan ‘mengecak’ sehingga menghasilkan getaran pada tubuh mereka. Dengan mengenakan kostum serupa (biasanya bertelanjang dada dengan penutup kain kotak-kotak putih hitam dari pinggang ke paha/lutut), Kecak merepresentasikan kerumunan dimana sosok individu lebur di dalam tubuh kolektif yang bergerak dan mengucap, dipandu irama tertentu.
Jalinan yang personal, yang individual
TVAC! dipentaskan dalam sebuah ruangan biasa (bukan teater) yang dikelilingi jendela. Empat tiang menjadi semacam batas arena pentas, dengan penonton duduk mengelilingi tiga sisinya, di atas bantal-bantal yang disebar. Posisi penonton menjadi sangat dekat dan intim dengan para penampil. Ruang ‘panggung’ hanya diisi satu kotak panjang yang berfungsi sebagai semacam podium, dan di sebelahnya ada kasur busa.
Pertunjukan diawali dengan kata pembuka dari Suma dengan beberapa kalimat peringatan yang cukup mengundang teka-teki perihal efek emosional yang mungkin diakibatkan dari ‘akting’ para penampil. Namun pertunjukan segera dimulai dengan rangkaian perkenalan keenam penampil yang maju ke depan, berdecak ‘cak cak cak’ sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, dan memperkenalkan diri mereka. Plot kemudian bergulir dengan rangkaian monolog yang bersusulan dari keenam penampil, kali ini dengan kosa gerak yang lebih beragam. Struktur naratif terbaca jelas dan mudah diikuti meski instruksi partisipatif yang mengundang penonton untuk ikut aktif menentukan jalannya pertunjukan dengan membunyikan kempling (alat musik pukul dari logam yang merupakan bagian dari gamelan Bali), awalnya, agak membingungkan. Salah satu dari kedua pembunyi kempling itu adalah Mang Try, jelas semacam strategi untuk melibatkan mereka yang cukup akrab dengan alur pertunjukan.
Seperti dituntun oleh serangkaian pertanyaan kunci, keenam penampil/penari ini pun memulai ceritanya dengan memperkenalkan diri seperti asal daerah, profesi (jika ada), dengan maju satu persatu ke area pertunjukan setelah Suma, sang sutradara, memberi salam pengantar tadi. Kostum mereka menjadi penanda lain tentang identitas, latar belakang sosial/kultural dan narasi yang mereka jalin berikutnya.
Penari pertama yang memasuki arena adalah Yanik (Parta), mahasiswa tari yang lahir, besar dan tinggal di Bali, satu-satunya yang berkostum sebagai lelaki pengecak. Ia menuturkan kenangan masa kecil mengikuti ayahnya berlatih dan tampil dalam Kecak, kenangan kebersamaan yang membuatnya merasa di ‘rumah’. Pengecak kedua, Jacko (Kaneko), adalah seorang penari/koreografer yang lahir dan besar di Bali namun keluarganya berasal dari Banyuwangi. Ia mengenakan baju gamis hijau dan mengaku sesungguhnya merasa canggung dengan kostumnya yang bisa jadi menggiring citra tertentu. Namun, ia sengaja mengenakan kostum tersebut seolah sebagai penanda identitas diri vs stereotip asal yang paradoks. Pengecak ketiga adalah Puspita (Sari), mahasiswa dan aktivis, yang tinggal di Denpasar dan mengaku sulit bergerak sambil bergetar. Ia tertarik dengan eksotisme Bali yang indah namun sekaligus bagai tubuh yang tertekan. Pengecak keempat adalah Jessika (Kaila), siswi SMP kelahiran 2010. Ia memilih mengenakan seragam sekolah dengan blus putih dan rok panjang berwarna gelap. Ia beragama Islam (menandai diri sebagai minoritas di Bali?) dan juga mengaku sulit menggerakan tubuhnya untuk bergetar. Pengecak kelima adalah (Kadek) Eky (Virji), yang mengenakan kemeja perempuan khas Kolaka (Sulteng). Ia sudah lima tahun tinggal dan kuliah di Bali, tanah leluhurnya, dengan niat untuk mengenali kebudayaan asalnya secara langsung. Pengecak terakhir adalah Karina (Sokowati), seorang DJ, asal Balikpapan, kelahiran 1997, yang sempat tinggal di beberapa kota lainnya di Indonesia sebelum menetap di Bali. Ia tampil bermake-up dan mengenakan setelah tank top berpunggung terbuka yang dipadu celana dengan potongan yang fashionable, kostum gemerlapnya ketika bekerja sebagai DJ.
The Voices After Cak! dibangun dari jalinan narasi keenam pengecak ini, yang dalam prosesnya, menyusun cerita tentang diri mereka dan hubungan personal dengan Bali. Dramaturgi disusun dengan runut, adegan per adegan, dengan alur yang bergerak makin improvisatif, terutama ketika keterlibatan penonton melalui pukulan kempling nya mulai aktif. Jika pada bagian dengan teks yang dihafal, gerakan/getaran yang diambil dari kosa-gerak Kecak diintegrasikan dengan narasi personal, maka bagian improvisasi memperlihatkan setiap kosa gerak masing-masing individu dengan variasi serta intensitasnya yang beragam.
Keenam penampil, bahkan Yanik yang keseharian masa kecilnya sempat dekat dengan lingkungan Kecak, mengaku tidak begitu mendalami Kecak hingga ia terlibat dalam proses kreatif TVAC!. “Mengenal kecak ketika mengikuti ayah yang bisa, tidak langsung belajar. Saya merasa ada satu getaran yang hilang. Dalam latihan ini saya mengingat kembali getaran-getaran tersebut,” ujarnya di sesi diskusi.
Jacko, salah satu dari enam pendiri dan anggota Mulawali Institute yang juga penari/koreografer, baru benar-benar mengenal Kecak dalam proses produksi TVAC!. Ia belajar menghasilkan getaran dari inti tubuh (sacrum/core) dan bagaimana pantulan getarannya terasa pada tubuh penampil lainnya. “Itu yang aku tangkep. Aku juga pelajari suara ‘cak’, belum nemu posisinya dimana, mungkin yang sudah didapat di getaran, namun juga di bagian tubuh yang lain.”
Jessika, penampil termuda (15 tahun), baru mengenal Kecak diproduksi ini karena selama ini cuma sekedar melihat di media sosial. “Yang benar-benar merasa aku ini sangat kecak (tertawa). Aku belajar tubuhku bergetar tapi tubuhku sangat susah digetarin, apalagi dengan getaran ini kita menghasilkan getaran/gerakan lain. Itu sangat susah.”
Sementara Eky, diaspora Bali di Sulawesi, pernah melakukan kecak tapi tidak benar-benar mendalam. “Baru di proses ini. Saya pikir belajar gerakannya dulu, ternyata getarannya dari diri sendiri. Saya masih belajar. Kedua itu, vokal. Jadi bentuk tubuh kita itu tergantung dari getaran dan vokal cak – cak yang datang dari perut, baru membentuk koreonya, pakem-pakem dasarnya seperti apa.”
Bagi Puspita, proses ini juga agak sulit. “Karena terbiasa ngomong [sebagai aktivis], sekarang disuruh bergerak, bergetar dan ngomong. Pengalaman baru. Dengan getaran dan gerak juga bisa menyampaikan pesan yang berbeda. Kemarin sempat latihan,dan diminta menikmati getaran – ini gimana caranya masih mencari sampai sekarang. Mungkin nanti bisa dilihat hasilnya seperti apa.”
Catatan kesan yang lebih panjang datang dari Karina yang punya pengalaman menjadi aktor teater baik teater gaya realisme maupun apa yang ia sebut sebagai ‘aktor tubuh’. “Sebagai aktor, ikhlas aja gimana maunya sutradara atau koreografer. Saya menikmati setiap ulikan artistik yang ada dalam setiap garapan Kecak. Cuma yang paling saya nikmati, saya baru pertama kali menikmati garapan yang sifatnya sangat egalitarian. Biasanya sutradara ngasih tahu kamu harus berlaku seperti ini, dan diikuti saja. Di sini, itu gak ada. Semua didiskusikan secara transparan sama aktornya, karena teksnya juga berbunyi dari aktornya; dan semua disepakati bersama. Gak ada kesepakatan yang bentuknya hierarkis dalam garapan ini. Ada momen-momen, kita tuh latihan isinya satu ruangan seluruh tembok [ditempeli] kertas-kertas sebesar jendela ini, yang isinya biografi kita, tentang pertanyaan tentang teks masing-masing. Bergerak sampai mau muntah. Ya susah, tapi ikhlas.”
Secara koreografik, TVAC! cukup berhasil mendedah Kecak – sebagai sebuah bentuk (form) – dengan memutar tatapan dari yang komunal ke individual, dari jaringan komersial (baca Stepputat, 2014), menjadi yang personal. Merajut penuturan para penampil – “pengecak kontemporer” ini – dengan apa yang terjadi di panggung, di luar dan ruang di-antara panggung (seperti presentasi semi formal, diskusi yang dimoderatori, makan minum bersama sambil mengobrol hingga larut malam, konon beberapa bertahan hingga dini hari), sesungguhnya tersirat bagaimana Mulawali Institute serius mewujudkan niatan diri dalam politik dan praktik berkeseniannya. Dalam praktik seni pertunjukan kontemporer, niatan (intention) itu penting – ia mungkin seperti menggantikan ‘tujuan’ atau marwah dalam konteks seni tradisi berbasis ritual. Niatan ini pun diurai menjadi praktik artistik yang dibangun di atas landasan wacana, setahap demi setahap, dengan selalu menelisik, termasuk mempertanyakan. TVAC! dibingkai dalam kerangka besar ini, dan elemen-elemen prosesual inilah yang menjadikan karya ini penting.
Meski begitu, selalu ada ruang untuk perbaikan. Ada beberapa catatan seputar detail pemanggungan, terutama merujuk pada bagaimana pertunjukan TVAC! dibuka. Misalnya, ia bisa dibuka dengan lebih luwes dan cair, ketimbang pengantar yang terkesan seperti pidato. Penyampaian instruksi untuk penonton bisa diartikulasikan dengan lebih luas dan mengalir, serta tidak perlunya memberi peringatan’ kepada penonton akan efek emosional dari alur pertunjukan (ternyata hal ini timbul dari tanggapan atas presentasi proses 2 Juni). Namun, catatan-catatan ini adalah catatan pinggir yang rutin hadir dalam setiap evaluasi artistik. Anasir yang paling penting adalah laku berkesenian yang ditawarkan oleh Mulawali Institute di atas, bahwa seni kontemporer – meski tidak berada di arus utama – adalah sumbangan yang tak kalah pentingnya bagi dinamika berkesenian di lokalitas masing-masing, terutama di Bali dengan segala problematika historis yang mempengaruhi kekiniannya.
Rujukan Pustaka
- Dibia, I.W. 2000 (1996). Kecak: The Vocal Chant of Bali. Denpasar: Hartanto Art Book Studio.
- Spies, W dan Beryl de Zoete. 2002 (1938). Dance Drama in Bali. Jakarta: Periplus.
- Stepputat, K. 2014. “Kecak Behind the Scenes – Investigating the Kecak Network”. Artikel dalam buku Dance Ethnography and Global Perspectives, disunting oleh Linda E. Danworth dan Ann R. Davis. London: Palgrave MacMillan, hal. 117-132.
Yogyakarta, 20 Juli 2025
