Oleh: Selira Dian
10 produser terpilih dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dalam Lokakarya dan Pertemuan Produser, 11-15 Juni 2025. Pertemuan yang digagas oleh Jejaring Produser Pertunjukan Indonesia (JPPI) dan Yayasan Kelola atas dukungan Dana Indonesiana ini, mengajak para produser untuk mendedah A-Z praktik kerja keproduseran, menautkan modal sosial/kultural, dan tentunya, bersenang-senang.
2025 menjadi tahun perdana bagi Yayasan Kelola untuk mengampu Lokakarya dan Pertemuan Produser secara penuh. Sebelumnya, Amna Kusumo, Rama Thaharani, Rebecca Kezia, dan Josh Marcy, kwartet pendiri JPPI selalu berbagi sumber daya dari masing-masing lembaga untuk menyelenggarakan forum produser. Pada 2022, Rebecca Kezia dan Josh Marcy yang saat itu bergiat Dewan Kesenian Jakarta, menggunakan lembaganya sebagai tuan rumah pertemuan kecil JPPI; dilanjutkan beberapa bulan setelahnya melalui ‘patungan’ antara Yayasan Kelola dan Komunitas Salihara. Inisiatif tersebut kemudian bergulir menjadi pertemuan tahunan yang berlangsung di Yogyakarta-Jakarta (2023) dan Bali (2024) serta beberapa pertemuan kecil yang melintang di antaranya.
Dukungan JPPI, Yayasan Kelola, dan inisiator lainnya terhadap kerja keproduseran merupakan ikhtiar jangka panjang untuk melahirkan produser-produser tangguh yang akan berkontribusi dalam memajukan ekosistem seni pertunjukan Indonesia. Sebab, sebelum JPPI dirintis pada 2022, pengakuan dan perhatian terhadap kerja keproduseran relatif minim, terutama jika dibandingkan dengan bidang penyutradaraan, penulisan naskah, dan keaktoran. Padahal, produser adalah salah satu profesi yang sangat krusial dalam menentukan keberhasilan sebuah produksi karya. Karena di balik pertunjukan memikat, ada produser yang giat merawat tim produksi hingga sebuah karya layak dipresentasikan di hadapan penonton.
Namun, masifnya produksi pertunjukan seni dalam sepuluh tahun terakhir, tak sebanding dengan jumlah produser yang mumpuni. Tak pelak, dalam banyak produksi, sutradara, manajer panggung, dan profesi lainnya kerap merangkap sebagai produser. Merespons kebutuhan tersebut, Rama Thaharani, Direktur Eksekutif Yayasan Kelola mengatakan, akses pengetahuan dan jejaring keproduseran menjadi salah satu fokus Kelola sejak 2024 hingga lima tahun mendatang, “Dalam Produksi Karya Inovatif, Yayasan Kelola mewajibkan tiap seniman yang lolos seleksi untuk bekerja dengan seorang produser yang menjadi tandem untuk memikirkan lingkungan interior dan eksterior kerja produksinya. Selain itu, ada juga program Magang Produser yang menawarkan sebuah lingkungan baru bagi produser yang sudah siap ‘naik kelas’. Sehingga ketika kembali ke lingkungan kerja, mereka lebih siap dan matang dalam menyikapi tantangan dan peluang di lingkungan sekitarnya,” ujarnya mengawali pembukaan Lokakarya dan Pertemuan Produser Pertunjukan Bersama JPPI (11/06/25).
Keberpihakan pada kerja keproduseran yang melampaui patronasi kelembagaan membuat kolaborasi berjalan organik. Hal inilah yang disampaikan Rebecca Kezia dan Josh Marcy, saat menceritakan proses kolaborasi dengan Yayasan Kelola. Keorganikan tersebutlah yang mereka harapkan tumbuh dari para produser yang menjadi peserta dalam lokakarya ini, agar dapat membagikan dan menghubungkan praktik baiknya di masing-masing wilayah. “Semoga proyek yang kawan-kawan presentasikan nanti dapat mengalami pengembangan dan penajaman dari percakapan kita di forum ini,” imbuh Josh Marcy.
Meski fokus program keproduseran terhitung baru, namun, komitmen Yayasan Kelola terhadap manajemen seni telah dirintis sejak 1999. Saat mendirikan Yayasan Kelola, Amna Kusumo, manajer cum produser seni kaliber menjadikan manajemen seni sebagai fokus perhatian sekaligus metode pendekatan program. Selain menyelenggarakan lokakarya, praktik rintisan manajemen seni tersebut juga disarikan ke dalam beberapa terbitan buku seperti, Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan (2002) serta Perencanaan dan Pengelolaan Event dan Festival (2010). Menurut sejumlah penerima manfaat program di masa lampau, sejak awal reformasi, Yayasan Kelola mengukuhkan diri sebagai pelopor manajemen seni di Indonesia.
Lokakarya dimulai dengan presentasi masing-masing peserta. Aan Mansyur dan Linda Mayasari dipercaya sebagai fasilitator yang mengelaborasi gagasan Wulan Pusposari (Lab Teater Ciputat), Halida Fisandra (Perempuan Komponis: Forum & Lab), Aik Vela (Institut Hidup), Ojax Manalu (Rumah Karya Indonesia), Bianca Da Silva (Komunitas KAHE), Ibe S. Palogai (Antologi Manusia), Retha Janu (Teater Saja Ruteng), Scholastica Wahyu Pribadi (Loka Seni Indonesia), Muhammad Rasyid Ridlo (Perkumpulan Seni Nusantara Baca), dan I Putu Ardiyasa (Lemah Tulis). Seluruh percakapan dicermati oleh Riyadhus Shalihin dan Rain Cuaca yang didapuk sebagai pengamat.
Tantangan dan Peluang Keproduseran
Satu per satu peserta memaparkan presentasi proyek terkini yang mereka garap bersama kolektifnya. Tema, lokasi, hingga metode begitu kaya dan beragam. Ojax Manalu bersama Rumah Karya Indonesia misalnya, menggunakan kekuatan budaya komunal Suku Batak Sumatra Utara untuk membuat Tao Silalahi Arts Festival, “Kami ingin melawan ruang eksklusif dan industrialis dengan festival berbasis budaya komunal. Karena sejak ditetapkan sebagai 5 Destinasi Pariwisata Super Prioritas, warga setempat berbondong-bondong menjual tanahnya kepada developer untuk dijadikan penginapan,” ujarnya.
Meski niat Ojax dan kolektifnya disambut baik oleh warga setempat, namun, ia sempat dicurigai sebagai bagian dari makelar tanah. Setelah melalui dialog panjang dengan warga, akhirnya Tao Silalahi Arts Festival berhasil dihelat. Pada 2019, festival garapannya berhasil menyedot 9.430 penonton yang tak hanya datang dari warga sekitar Danau Toba, tetapi juga Aceh, Padang, Pekanbaru hingga Pulau Jawa. Melalui Tao Silalahi Arts Festival, Ojax menunjukan keberhasilannya membersamai warga dalam mempertahankan budaya komunal yang hampir koyak digerus mesin industri pariwisata.
Setelah Ojax purna menceritakan tantangan, kini giliran Wulan Pusposari dari Lab Teater Ciputat (LTC) yang membagikan peluang dalam praktik keproduserannya. Namun, sebelum menemukan celah peluang itu, Wulan mengaku awalnya tidak pernah menyangka produser pertunjukan adalah sebuah pilihan karier, “Ini dunia apa sih? Sudah tahu non profit, tapi kok teman-teman saya (di LTC) tetap latihan. Barulah jawabannya saya dapatkan setelah berproses lebih lama dengan LTC,” ungkapnya, diiringi tawa peserta lainnya.
Kegamangan Wulan akan profesi produser pertunjukan terasa valid bagi mayoritas peserta. Sebab, definisi, lingkup kerja, upah, dan hal-hal teknis lainnya yang menjadi syarat sebuah profesi masih sumir. Wulan dan semua peserta punya definisi serta metode khas yang disesuaikan dengan konteks kolektif atau lokalitas masing-masing. Metode Ojax yang hidup dalam suasana guyub ala masyarakat adat mungkin kurang cocok bagi Wulan yang urban, begitu pun peserta lainnya dari Gunung Kidul, Ruteng, Yogyakarta, Depok, Makassar, Maumere, dan Bali. Namun, terlepas dari partikularitas, ada tips membuka peluang yang sangat mungkin ditiru produser lainnya.
“Saat LTC berkolaborasi dengan kelompok teater Jepang, kami hanya diberikan bujet Rp 90 juta. Uang segitu gak mungkin bisa memberangkatkan 7-8 orang ke Jepang. Saya lalu cari tahu Pak Hilmar Farid mengisi acara di mana dan saya datangi, minta foto, kartu nama, nomor telepon, dan promosi teater saya selama 2 menit. Setelah itu, saya beranikan diri chat dia, mengirim bukti foto saya dengan dia dan menyampaikan dukungan dana untuk pentas teater saya. Setelah menunggu agak lama, akhirnya chat saya dibalas, dia mengarahkan saya ke asistennya. Dan akhirnya LTC bisa berangkat ke Jepang,” seloroh Wulan, disambut kekehan dan riuh tepuk tangan peserta lainnya.
Kontekstualitas sebagai Modus Keproduseran
Selain mengenal metode keproduseran antarpeserta, di hari-hari berikutnya, peserta mendapatkan kesempatan untuk belajar dari tiga narasumber, Aan Mansyur (Makassar International Writer Festival), Bunga Siagian (Badan Kajian Pertanahan dan Mother Bank), dan Eka Putra Nggalu (Komunitas KAHE). Selama dua jam, masing-masing narasumber menceritakan praktik keproduserannya melalui verbal dan presentasi virtual. Kesepuluh peserta seperti diajak berpelesir, menyelami dari dekat konteks lokalitas para narasumber.
15 tahun sudah Aan Mansyur membersamai para penulis muda bertumbuh di Makassar International Writer Festival (MIWF). Sementara praktik keproduserannya baru dimulai 2 tahun lalu, ketika mendiang Lily Yulianti Farid, pendiri MIWF berpulang dan memandatkan Aan untuk menggantikan posisinya sebagai direktur. “Saya bilang ke Lily, kamu yakin memilih saya yang lelaki cis-hetero ini untuk menjalankan MIWF?” tanyanya.
Keraguan Aan beralasan, sebab, MIWF dikenal sebagai salah satu atau bahkan satu-satunya festival yang menentang all male panels dan 75 persen panitianya adalah perempuan. Tak hanya mempertimbangkan komposisi perempuan dan laki-laki, MIWF pun menjadi ruang aman bagi keragaman gender lainnya. Dalam kelas Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, and Sex Characteristic (SOGIESC) misalnya, Aan tidak menyangka, para peserta yang belum saling mengenal terlihat nyaman melela (menunjukan identitas/orientasinya). Di tengah Rancangan peraturan daerah anti-LGBT di Makassar, MIWF dengan lantang menunjukan keberpihakannya pada keragaman gender.
Selain mengamini kesetaraan gender, cara kerja MIWF juga berjalan sangat egaliter. Ia sebagai direktur yang melakukan kerja-kerja keproduseran merasa sangat terbantu, “Karena kami mempercayai apa yang kami sebut Polycentric Systems. Jadi pengambil keputusan di MIWF itu terdesentralisasi. Tidak ada satu keputusan pun yang hanya terpusat ke satu orang. Sebetulnya sebagai produser menjadi ringan karena nggak harus jadi tokoh sentral. Kami coba mengidentifikasi dan menghancurkan binari-binari semu,” sambungnya.
Namun, konsekuensi dari sistem kerja yang tidak sentralistik tersebut adalah tunduk pada banyak keputusan. Sebagai direktur, ia mengaku pernah dimarahi ketika membawa kopi dengan wadah plastik ke area festival. Karena sejak 2019, MIWF berkomitmen untuk nirsampah, semua sampah yang dihasilkan selama festival dipilah dan diolah sendiri. Melalui MIWF, Aan tak hanya merayakan sastra, pula seni dan aktivisme lintas disiplin yang memiliki keberpihakan pada kelompok marjinal. Dengan praktik baik yang terus dijaga sejak 2011, tak mengagetkan jika MIWF terpilih sebagai shortlist International Excellence Award London Book Fair pada 2019.
Puas mengintip dapur MIWF, kini Bunga Siagian mengajak para peserta main ke Kampung Wates, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Ibu satu anak itu menceritakan praktik keproduserannya yang menggunakan metode mobilisasi naratif untuk mengintervensi sosial dengan kerja kolektif. “Kami bekerja sebagai warga, melakukan advokasi isu agraria tapi tidak berdemo atau ke pengadilan (non litigasi). Kami memobilisasi warga agar mengingat kembali lokalitas wilayahnya yang hampir hilang digerus pabrik,” ungkapnya.
Dari segi historis, Jatiwangi memiliki riwayat konflik tanah terlama dan terbesar dengan TNI AU di Jawa Barat. Sebelum dikuasai militer Indonesia, kolonial Jepang terlebih dahulu menjadikan Jatiwangi sebagai basis pertahanan. Setelah Indonesia “merdeka” Jatiwangi jatuh ke tangan TNI AU dan tidak pernah dikembalikan ke tangan warga hingga saat ini. Karena itu, mungkin kata merdeka perlu disertai tanda petik, karena warga setempat belum pernah benar-benar merasa berdikari di tanah moyangnya sendiri. Di tangan militer, Jatiwangi disulap menjadi kawasan industri yang berubah rupa, dari pabrik gula, pabrik genteng, dan kini pabrik manufaktur. Bahkan, hampir tidak ada universitas dan sekolah, imajinasi mayoritas warga hanya menjadi buruh pabrik. Industrialisasi yang masif membuat warga tercerabut dari identitas masyarakat agraris yang semula akrab dengan tanah dan sawah.
Karena itu untuk meresapi dinamika warga dan menghindari tatapan eksotisme, Bunga tak hanya berdialog, tetapi juga hidup bersama mereka. Bunga menggunakan cara mimikri atau meniru nama hingga logo institusi pemerintah seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Kajian Pertanahan. Di Kampung Wates, BPN hanya melakukan kerja administratif seperti mengurus kepemilikan sertifikat, tetapi saat ada konflik agraria, mereka nyaris tidak berfungsi alias warga sendirilah yang harus menuntut haknya ke pengadilan.
Karena itu di proyek Badan Kajian Pertanahan, Bunga tidak hanya melakukan kerja administratif seperti menerbitkan surat kepemilikan tanah, tetapi juga lelaku kultural yang membangkitkan rasa sentimental dengan pawai bawa rumah dan mengarak tumpeng tanah, “Kami bikin tumpeng tanah, kita muterin dan menyentuh tumpeng tanahnya seperti Ka’bah. Hampir semua warga menangis saat menyentuhnya, memori akan tanah leluhur yang mereka perjuangkan teringat kembali,” sambungnya.
Melalui seni performatif, Bunga mengajak warga melakukan reclaiming tanah leluhur sejak dalam pikiran. Reclaiming tanah dalam praktik keproduseran Bunga Siagian di Jatiwangi menjadi salah satu inspirasi Eka Putra Nggalu dalam kerja-kerja Komunitas KAHE di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Namun, jika Bunga memimikri dan mengambil jarak atas institusi negara, lain halnya dengan Komunitas KAHE yang sejak berdiri pada 2015 mengambil posisi institusi. Meski dalam perjalanannya, bineritas itu perlahan memudar ke dalam spektrum, tetapi konteks Maumere memaksa mereka bekerja dalam kerangka institusi. Sebab dalam konteks Maumere kala itu, alternatif atas institusi tidak ada. Referensi Eka hanya beberapa, itu pun lebih banyak dari Pulau Jawa.
“Kenapa institusi jadi sebegitu menakutkan? Kenapa dia sebegitu menara gading? Dan apakah seluruh wacana counter-institutionalism itu relevan dengan praktik atau dengan Maumere? Di Maumere bahkan Flores tidak ada Institut Seni Indonesia (ISI). Jadi sejak, awal KAHE ingin bikin institusi. Ketika semua orang (Pulau Jawa) counter institusi, KAHE bikin institusi,” ungkapnya.
Namun, meski secara bentuk Komunitas KAHE adalah institusi, tetapi dalam praktiknya Eka sangat kritis dengan modus-modus institusional yang terutama dari oknum pemerintah. Ketika KAHE merancang Flores Writer Festival pada 2022 misalnya, mereka ditawari dana besar dari institusi pemerintah, tetapi dengan tegas mereka menolak karena oknum adalah pelaku kekerasan dalam protes warga Labuan Bajo. NTT yang diposisikan pemerintah sebagai kawasan Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) sangat rentan sekaligus potensial dimanfaatkan oknum tertentu, “Jangankan KAHE, Maumere itu bahkan tidak ada Pemda pun bisa hidup. Karena warganya aktif dan warganya punya inisiatif yang tinggi,” imbuhnya.
Pada 2016, Komunitas KAHE mendirikan Maumerelogia, sebuah festival teater yang melibatkan berbagai pihak, termasuk Perwakas (organisasi waria Maumere) untuk mengklaim kota, merefleksikan kerja-kerja komunitas, dan mendekolonisasi kota dari dominasi narasi arus utama. Sejak 2024, Maumerelogia bertransformasi menjadi festival kota yang lebih luas, berupaya merespons langsung kebutuhan warga, bahkan membuka dapur umum. Festival ini ingin mengklaim narasi Kota Maumere, menunjukkan bahwa kota itu dapat berfungsi dan berkembang berkat inisiatif dan keaktifan warganya, terlepas dari keberadaan pemerintah daerah. Eka percaya, seni adalah medium yang paling tepat untuk melakukan perubahan sosial.
Lebih dari Sekadar Pelaksana Mimpi Orang Lain
Selain ketiga narasumber, ada Imron Zuhri, Chief Technology Officer HARA atau yang lebih senang menyebut dirinya sebagai komporer (pemantik ide). Dalam sesi sharing, ia menjelaskan definisi produser sangat cair, tergantung dengan bidang atau industri yang digeluti. Namun, meskipun cair, tetap ada benang merah yang saling bertaut yakni, memproduksi dari yang abstrak menjadi konkret. Pekerjaan yang sebenarnya hampir mirip dengan tugas sutradara, perbedaannya, produser lebih fokus kepada keproduksian dibandingkan ranah artistik.
Dalam sebuah produksi, tangan produser yang gesit mengurus banyak hal seringkali dianggap sebagai “pelaksana mimpi orang lain” atau bahkan “pembantu umum”. Agar asumsi itu tidak semakin melebar, Imron menyarankan agar produser secara personal memiliki misi dan tujuan yang jelas—apakah untuk mendatangkan massa, memecahkan masalah, atau mencari dana hibah. Menurut Imron, peran produser dalam rantai seni pertunjukan sangat krusial: mengorganisir dan memediasi banyak pihak sehingga menciptakan kolaborasi yang berdampak.
“Jadi, kamu mau jadi produser yang seperti apa?” tanya Imron kepada peserta.
Pertanyaan tentang identitas dan tujuan seorang produser memang tampak sederhana, namun berhasil membuat para peserta merenungkannya secara mendalam. Menjadi produser pertunjukan seringkali merupakan jalan yang sunyi, penuh tantangan sekaligus peluang di balik panggung. Namun, kehadiran JPPI, Yayasan Kelola, dan jaringan pertemanan yang terjalin dalam forum ini hadir sebagai dukungan untuk memecahkan kesunyian, memberikan ruang aman untuk berbagi dan memulai kolaborasi yang berdampak bagi ekosistem seni pertunjukan Indonesia.