Kelola

EN

|

ID

UNTUK SENI DAN BUDAYA

EN

|

ID

KELOLA

UNTUK SENI DAN BUDAYA

PUBLISHED BY.
Kelola
SHARE
Menengarai Kecenderungan dalam Enam Adegan (Catatan Umum atas Proposal Produksi Karya Inovatif Yayasan Kelola 2025)

Menengarai Kecenderungan dalam Enam Adegan (Catatan Umum atas Proposal Produksi Karya Inovatif Yayasan Kelola 2025)

Oleh: Shohifur Ridho’i

Adegan Satu
Sebermula Jeda

Jeda setelah membaca lebih dari dua ratus judul proposal karya, dengan mata yang mulai berkunang dan perasaan yang menggantung, tiba-tiba ada yang mendesak dari dalam. Mendesak keluar lewat jari-jari.

“Tiba-tiba ada yang mendesak” sebab tulisan ini bukanlah bagian dari permintaan formal Yayasan Kelola. Sebagai anggota panel, seperti yang termaktub dalam surat kesepakatan kerja, tugas saya hanyalah membaca, menilai, berdiskusi, dan memilih proposal bersama rekan-rekan panelis lainnya.

Rupanya, proses membaca itu meninggalkan potongan-potongan kesan, pola-pola yang berulang, pertanyaan dan pernyataan yang menyelinap di antara kalimat-kalimat. Dari pengalaman itu, saya menemukan lanskap kecil tentang bagaimana para seniman berpikir, merancang, dan membayangkan kemungkinan.

Tulisan ini adalah pandangan pribadi saya, tak mewakili pandangan anggota panelis yang lain. Ia terbit dari dorongan personal untuk mencatat dengan nada refleksi-evaluatif atas pengalaman membaca proposal.

Catatan ini, mungkin, lebih dekat pada semacam amatan sementara. Ia ditulis bukan sebagai panduan. Bukan pula resep keberhasilan. Bukan. Ia diniatkan sebagai ajakan bicara antarteman yang saya tujukan kepada siapa saja yang berkenan membaca, mungkin Anda, dengan minuman dingin atau hangat, atau segelas harapan yang bening.

Dalam jeda selepas membaca seluruhnya, kopi tinggal ampas, saya menambah segelas lagi di kedai langganan yang bersahaja. Lalu beginilah jadinya….

Adegan Dua
Tiga Kegembiraan

Proposal adalah artikulasi dari cara berpikir, sebagian lainnya mengemban fungsi sebagai dokumen administratif. Saya bersama panelis lainnya, bekerja untuk kepentingan yang pertama. Sementara tim dari Yayasan Kelola mengerjakan yang disebut kedua. Meski membuat kepala terasa mendidih selepas mata menatap ribuan halaman dari dua ratusan judul proposal, saya gembira belaka membacanya. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa demikian.

Pertama, sebagian besar proposal datang dari seniman generasi saya. Atau bahkan lebih muda. Saya menemukan kegelisahan yang terasa dekat dan akrab, sekaligus menemukan karib seperjalanan yang menapaki rute serupa. Rute seni pertunjukan yang berkerikil dengan tekstur bermacam rupa.

Kedua, Saya bisa melihat tahap paling awal dari proses penciptaan saat ide belum terwujud, dan gelagat artistiknya sudah ditabur. Ia memperlihatkan bagaimana seorang seniman berpikir, ide dipetakan dan dibingkai, metode penciptaan diformulasikan, menakar kemungkinan artistik, mengatur rencana logistik, dan mungkin siasat yang hendak ditempuh. Saya bahagia manakala bertemu dengan proposal yang jernih, yakni rancangan yang memperlihatkan relasi antara isi kepala dan rencana kaki melangkah.

Ketiga, membaca proposal seperti membaca peta, yakni peta kecil tentang lanskap seni pertunjukan Indonesia hari ini. Ada gejala, ada kecenderungan, ada kebingungan, ada keberanian. Di sini saya melihat gelagat nan akrab yang menyelinap tipis dalam proposal, yakni seniman yang bermurah hati dan gemar bekerja lebih, yang tak cukup hanya berpikir sebagai pencipta, tapi juga sebagai penghayat ekosistem di lokasi budayanya. Mereka menyadari ada celah menganga yang tak selesai ditambal dengan estetika. Rupanya, seniman di Indonesia juga mesti bekerja seperti tumbuhan, yang tak selalu tumbuh ke atas, tapi juga menjalar, merambat, menyusup ke sela-sela, mencari cahaya dan mata air.

Adegan Tiga
Arus Beriak

Banyak proposal—kata “banyak” di sini tak cuma merujuk pada jumlah, tetapi juga kecenderungan yang berulang dan mengkristal—mengangkat tema-tema yang berakar pada tradisi. Atau lebih tepatnya, pengetahuan lokal yang tumbuh dari nilai-nilai, ingatan kolektif, dan lanskap kultural masyarakat tertentu. Ini memperlihatkan kesungguhan para seniman kiwari menapaki jalan yang bertaut dengan identitas. Mereka menggali, mencari pijakan, dan membaca ulang sumber-sumber kebudayaannya. Pada titik ini, kita boleh merasa lega, betapa khazanah pengetahuan lokal Indonesia sangat beragam dan berlimpah.

Namun, selepas kelegaan itu, saya segera bersua dengan ganjalan. “Tradisi” dalam banyak proposal diperlakukan sebagai sumber kearifan yang bersifat final, bukan sebagai medan yang selalu dinegosiasikan. Alih-alih membaca tradisi sebagai jaringan yang lentur dan terbuka, banyak pendekatan justru membekukannya dalam bentuk citra ideal, yang dikeramatkan tanpa dipertanyakan atau ditafsir ulang lebih jauh dan radikal. Tradisi ditampilkan sebagai katalog eksotika, mirip brosur pariwisata. Biarlah yang disebut terakhir ini dikerjakan oleh yang berwenang.

Pemikiran kritis di sini diperlukan bukan untuk menyangkal nilai tradisi, melainkan untuk membuka dan menyadari kekuatan dan sekaligus kerentanannya. Membaca tradisi secara kritis adalah cara untuk tak melulu menjadikannya sebagai jimat kultural yang dianggap mujarab untuk segala krisis kontemporer. Dunia yang pekak nan riuh tidak cukup disembuhkan hanya dengan kembali ke masa silam, seakan masa silam tak pernah punya masalah.

Tradisi bisa goyah dan retak dalam dunia yang terus berubah, tapi justru dalam kegoyahannya, tradisi memungkinkan bisa bicara banyak. Justru dalam retaknya, tradisi memungkinkan punya kekuatan dan daya resistensi. Apa yang saya sebut “memungkinkan” adalah celah yang mestinya dipikirkan, diurai, dan  diartikulasikan dengan sangkil dan mangkus.

Perlu saya tekankan bahwa seluruh pikiran dan pernyataan saya di bagian ini tumbuh dari sudut pandang seni kontemporer, sebuah ranah yang mesti membuka diri pada pembacaan ulang, tafsir kritis, dan bahkan pada pergeseran posisi. Dalam konteks ini, tradisi tidak saya lihat sebagai benda warisan yang tinggal pakai, tetapi sebagai ruang kontestasi ingatan dan kekuasaan yang senantiasa tarik-menarik. Ia adalah lanskap pengetahuan yang tak lepas dari pergeseran, tegangan, dan benturan antar-nilai.

Namun, saya juga menyadari bahwa diskusi ini akan berbunyi berbeda jika ditempatkan dalam kerangka seni tradisi yang terhubung erat dengan ritual, adat, serta nilai-nilai luhur yang dijaga dan diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas masyarakat tertentu. Di ruang-ruang tersebut, pembacaan atas tradisi memiliki logikanya sendiri.

Refleksi ini sebentuk ajakan untuk menempatkan kerangka tema dalam ruang wacana yang kita bangun hari ini, yang memberi tempat bagi pertanyaan dan kemungkinan artikulasi baru. Sebab tradisi (atau tema apa pun) adalah arus beriak yang mengalir dan bergelombang.

Adegan Empat
Apa dan Bagaimana Ia Mengatakan?

Dalam proses penciptaan dari hulu ke hilir, kita mengenal riset tematik dan riset artistik, atau apa pun sebutannya. Riset tematik beroperasi di wilayah diskursif. Ia membongkar konteks historis, sosial, hingga filosofis dari sebuah isu. Ia membuka lanskap berpikir. Sementara riset artistik menyelami medan bentuk dan material seperti gestur, teknologi, teknik, komposisi, dan semacamnya. Keduanya kadang tidak berjalan linear, tetapi berjejalin, saling menggamit, saling menginfeksi. Dalam proses penggalian tema, boleh jadi bentuk mulai menampakkan dirinya. Dalam pengolahan bentuk, tema bisa beringsut, menjelma lain, dan boleh jadi itu justru memperkaya.

Setiap tema, sejatinya, tidak hanya tentang gugus gagasan, tetapi juga mengandung kemungkinan bentuk. Lebih jauh, tema juga menyarankan metodologi penciptaan tertentu yang sesuai dengan arah dan medan kerja yang ditawarkan. Dengan kata lain, tema bukanlah entitas abstrak yang mengambang di udara. Ia adalah kompas, rute yang mengandung arah, logika, dan kemungkinan materialitas yang konkret. Dalam dirinya, tema membawa semacam imaji, sensasi, bahkan potensi tubuh dan ruang, yang menuntut bentuknya sendiri. Inovasi artistik kerap kali lahir dari kepaduan eksplorasi konsep dan ketajaman seniman dalam merespons materialitas yang disarankan, sesuatu ditantang oleh tema itu sendiri.

Namun, saya menjumpai semacam keterputusan yang mencolok antara tema dan rencana bentuk artistik. Dalam banyak proposal, bentuk sering kali diperlakukan sebagai kerangka institusional yang membungkus tema, semacam kemasan prosedural. Dalam situasi semacam ini, inovasi bisa mandek di tataran tematik. Ia berhenti sebagai narasi, bukan sebagai pengalaman. Bagi saya, yang menjadikan karya berbicara bukan hanya apa yang dikatakan, melainkan juga bagaimana ia mengatakan. Dan di titik inilah antara tema dan bentuk sama pentingnya, sebab relasi keduanya tidak semata estetis, tetapi juga etis dan politis.

Yang politis adalah bagaimana bentuk bisa mengganggu atau mempertanyakan logika yang sering melekat pada tema tertentu. Bagaimana pilihan bentuk menjadi keputusan estetis, atau bahkan keputusan ideologis yang bisa membongkar atau justru mengafirmasi relasi kuasa yang sedang dibicarakan. Yang etis adalah bagaimana bentuk tidak memanipulasi tema sebagai alat justifikasi, atau sebaliknya, tidak memperlakukan tema sebagai aksesoris tanpa tanggung jawab terhadap kompleksitasnya.

Bentuk, dengan demikian, bukan medium netral. Ia adalah bagian dari sistem makna. Ia tak sekadar alat, ia adalah substansi itu sendiri. Di sinilah pentingnya melihat relasi keduanya sebagai dialektika yang saling memicu, saling menggugat, saling menyempurnakan. Sebab bentuk adalah cara berpikir yang diartikulasikan melalui dan oleh tubuh, ruang, waktu, komposisi, dan selain-lainnya.

Pikiran dan pernyataan saya di bagian ini tentu bisa diperdebatkan. Tidak ada kaidah tunggal. Barangkali Anda justru bekerja secara via negativa, memutus hubungan antara tema dan bentuk, memelintirnya, menciptakan benturan, bahkan membiarkan kontradiksi terbuka lebar. Mungkin itu bagian dari strategi artistik Anda sendiri. Dan itu sah belaka. Tetapi bila relasi tema dan bentuk dianggap remeh, dibiarkan mengambang tanpa kehendak artistik yang jelas, karya bisa kehilangan daya sasarnya.

Adegan Lima
Saling Berpilin

Beberapa proposal mengusung pendekatan kolaboratif. Apa yang kerap dimaksud dengan kolaborasi dalam banyak proposal adalah sebatas pertemuan antar-disiplin atau kerja bersama antara individu-individu dari latar seni yang berbeda. Kolaborasi dipahami sebagai akumulasi elemen-elemen artistik. Berdasar pengertian itu, ditegaskan atau tidak ditegaskan, tidakkah dalam dirinya, sesungguhnya seni pertunjukan sudah kolaboratif?

Yang saya maksudkan di sini adalah substansi dari apa yang hendak disasar oleh kerja kolaborasi itu? Apa agenda estetis dan politisnya di dalam tema, dalam bentuk, dalam …?  Kolaborasi dapat berarti menegosiasikan ulang nilai dan posisi, serta membayangkan ulang hubungan antara subjek, metode, dan medium. Ia semacam laboratorium, tempat di mana subjektivitas tidak dihapus, tetapi saling berpilin menjadi spiral yang saling melekat dan padu.

Kolaborasi mengandaikan semua yang terlibat untuk meletakkan sebagian subjektivitasnya di atas meja. Sebagian lainnya bersilangan, membiarkannya diganggu, diragukan, bahkan dibentuk ulang. Dalam ruang semacam ini, metode dari kolaborasi adalah sesuatu yang digali dan dibentuk bersama, dengan segala kemungkinan tarik-ulur, dan boleh jadi memunculkan friksi. Dan itu bagian dari dinamika proses.

Adegan Enam
Sebuah Kutukan

Tulisan ini tak cukup. Tak akan pernah cukup meringkus yang segala. Ia cuma mampu memapar sedikit dari ribuan lembar halaman proposal. Apa yang saya tulis di sini adalah tengara awal, semacam gelagat umum yang dinubuatkan oleh proposal para pelamar. Ada yang tampak samar, ada pula yang mencuat dengan terang. Tentu, yang saya baca adalah dokumen, yakni sebuah rencana, yang dalam prosesnya, sebagaimana lazimnya penciptaan karya pertunjukan, bisa saja berbelok, menukik, bahkan menyimpang ke arah yang tak pernah dibayangkan sejak mula.

Izinkan saya mengulang satu hal: tulisan ini bukan panduan, bukan pula resep keberhasilan. Saya tidak menulisnya dengan maksud memberi petunjuk arah. Kalau ternyata ia berguna, saya bersyukur. Jika pun tidak, semoga keberadaannya tidak mubazir belaka.

Seluruh proposal memiliki potensi, tentu dengan tahapan potensi yang berbeda-beda. Namun, kira-kira hampir seperempat dari dua ratusan proposal mencuri perhatian saya. Jika Anda adalah pengirim lamaran yang belum berkesempatan terpilih, itu tidak serta-merta berarti proposal Anda tak bernilai. Ini memang ‘kutukan’ dari mekanisme panggilan terbuka, hanya mampu memilih sedikit dari yang banyak.

Saya kira Yayasan Kelola tentu ingin memeluk gunung, apalah daya pastilah tangannya tak sampai. Kita memerlukan banyak tangan untuk bersama-sama merengkuh yang seluruh.

Bjirrrrr!

Menengarai Kecenderungan dalam Enam Adegan (Catatan Umum atas Proposal Produksi Karya Inovatif Yayasan Kelola 2025)

Menengarai Kecenderungan dalam Enam Adegan (Catatan Umum atas Proposal Produksi Karya Inovatif Yayasan Kelola 2025)

Oleh: Shohifur Ridho’i

Adegan Satu
Sebermula Jeda

Jeda setelah membaca lebih dari dua ratus judul proposal karya, dengan mata yang mulai berkunang dan perasaan yang menggantung, tiba-tiba ada yang mendesak dari dalam. Mendesak keluar lewat jari-jari.

“Tiba-tiba ada yang mendesak” sebab tulisan ini bukanlah bagian dari permintaan formal Yayasan Kelola. Sebagai anggota panel, seperti yang termaktub dalam surat kesepakatan kerja, tugas saya hanyalah membaca, menilai, berdiskusi, dan memilih proposal bersama rekan-rekan panelis lainnya.

Rupanya, proses membaca itu meninggalkan potongan-potongan kesan, pola-pola yang berulang, pertanyaan dan pernyataan yang menyelinap di antara kalimat-kalimat. Dari pengalaman itu, saya menemukan lanskap kecil tentang bagaimana para seniman berpikir, merancang, dan membayangkan kemungkinan.

Tulisan ini adalah pandangan pribadi saya, tak mewakili pandangan anggota panelis yang lain. Ia terbit dari dorongan personal untuk mencatat dengan nada refleksi-evaluatif atas pengalaman membaca proposal.

Catatan ini, mungkin, lebih dekat pada semacam amatan sementara. Ia ditulis bukan sebagai panduan. Bukan pula resep keberhasilan. Bukan. Ia diniatkan sebagai ajakan bicara antarteman yang saya tujukan kepada siapa saja yang berkenan membaca, mungkin Anda, dengan minuman dingin atau hangat, atau segelas harapan yang bening.

Dalam jeda selepas membaca seluruhnya, kopi tinggal ampas, saya menambah segelas lagi di kedai langganan yang bersahaja. Lalu beginilah jadinya….

Adegan Dua
Tiga Kegembiraan

Proposal adalah artikulasi dari cara berpikir, sebagian lainnya mengemban fungsi sebagai dokumen administratif. Saya bersama panelis lainnya, bekerja untuk kepentingan yang pertama. Sementara tim dari Yayasan Kelola mengerjakan yang disebut kedua. Meski membuat kepala terasa mendidih selepas mata menatap ribuan halaman dari dua ratusan judul proposal, saya gembira belaka membacanya. Setidaknya, ada tiga alasan mengapa demikian.

Pertama, sebagian besar proposal datang dari seniman generasi saya. Atau bahkan lebih muda. Saya menemukan kegelisahan yang terasa dekat dan akrab, sekaligus menemukan karib seperjalanan yang menapaki rute serupa. Rute seni pertunjukan yang berkerikil dengan tekstur bermacam rupa.

Kedua, Saya bisa melihat tahap paling awal dari proses penciptaan saat ide belum terwujud, dan gelagat artistiknya sudah ditabur. Ia memperlihatkan bagaimana seorang seniman berpikir, ide dipetakan dan dibingkai, metode penciptaan diformulasikan, menakar kemungkinan artistik, mengatur rencana logistik, dan mungkin siasat yang hendak ditempuh. Saya bahagia manakala bertemu dengan proposal yang jernih, yakni rancangan yang memperlihatkan relasi antara isi kepala dan rencana kaki melangkah.

Ketiga, membaca proposal seperti membaca peta, yakni peta kecil tentang lanskap seni pertunjukan Indonesia hari ini. Ada gejala, ada kecenderungan, ada kebingungan, ada keberanian. Di sini saya melihat gelagat nan akrab yang menyelinap tipis dalam proposal, yakni seniman yang bermurah hati dan gemar bekerja lebih, yang tak cukup hanya berpikir sebagai pencipta, tapi juga sebagai penghayat ekosistem di lokasi budayanya. Mereka menyadari ada celah menganga yang tak selesai ditambal dengan estetika. Rupanya, seniman di Indonesia juga mesti bekerja seperti tumbuhan, yang tak selalu tumbuh ke atas, tapi juga menjalar, merambat, menyusup ke sela-sela, mencari cahaya dan mata air.

Adegan Tiga
Arus Beriak

Banyak proposal—kata “banyak” di sini tak cuma merujuk pada jumlah, tetapi juga kecenderungan yang berulang dan mengkristal—mengangkat tema-tema yang berakar pada tradisi. Atau lebih tepatnya, pengetahuan lokal yang tumbuh dari nilai-nilai, ingatan kolektif, dan lanskap kultural masyarakat tertentu. Ini memperlihatkan kesungguhan para seniman kiwari menapaki jalan yang bertaut dengan identitas. Mereka menggali, mencari pijakan, dan membaca ulang sumber-sumber kebudayaannya. Pada titik ini, kita boleh merasa lega, betapa khazanah pengetahuan lokal Indonesia sangat beragam dan berlimpah.

Namun, selepas kelegaan itu, saya segera bersua dengan ganjalan. “Tradisi” dalam banyak proposal diperlakukan sebagai sumber kearifan yang bersifat final, bukan sebagai medan yang selalu dinegosiasikan. Alih-alih membaca tradisi sebagai jaringan yang lentur dan terbuka, banyak pendekatan justru membekukannya dalam bentuk citra ideal, yang dikeramatkan tanpa dipertanyakan atau ditafsir ulang lebih jauh dan radikal. Tradisi ditampilkan sebagai katalog eksotika, mirip brosur pariwisata. Biarlah yang disebut terakhir ini dikerjakan oleh yang berwenang.

Pemikiran kritis di sini diperlukan bukan untuk menyangkal nilai tradisi, melainkan untuk membuka dan menyadari kekuatan dan sekaligus kerentanannya. Membaca tradisi secara kritis adalah cara untuk tak melulu menjadikannya sebagai jimat kultural yang dianggap mujarab untuk segala krisis kontemporer. Dunia yang pekak nan riuh tidak cukup disembuhkan hanya dengan kembali ke masa silam, seakan masa silam tak pernah punya masalah.

Tradisi bisa goyah dan retak dalam dunia yang terus berubah, tapi justru dalam kegoyahannya, tradisi memungkinkan bisa bicara banyak. Justru dalam retaknya, tradisi memungkinkan punya kekuatan dan daya resistensi. Apa yang saya sebut “memungkinkan” adalah celah yang mestinya dipikirkan, diurai, dan  diartikulasikan dengan sangkil dan mangkus.

Perlu saya tekankan bahwa seluruh pikiran dan pernyataan saya di bagian ini tumbuh dari sudut pandang seni kontemporer, sebuah ranah yang mesti membuka diri pada pembacaan ulang, tafsir kritis, dan bahkan pada pergeseran posisi. Dalam konteks ini, tradisi tidak saya lihat sebagai benda warisan yang tinggal pakai, tetapi sebagai ruang kontestasi ingatan dan kekuasaan yang senantiasa tarik-menarik. Ia adalah lanskap pengetahuan yang tak lepas dari pergeseran, tegangan, dan benturan antar-nilai.

Namun, saya juga menyadari bahwa diskusi ini akan berbunyi berbeda jika ditempatkan dalam kerangka seni tradisi yang terhubung erat dengan ritual, adat, serta nilai-nilai luhur yang dijaga dan diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas masyarakat tertentu. Di ruang-ruang tersebut, pembacaan atas tradisi memiliki logikanya sendiri.

Refleksi ini sebentuk ajakan untuk menempatkan kerangka tema dalam ruang wacana yang kita bangun hari ini, yang memberi tempat bagi pertanyaan dan kemungkinan artikulasi baru. Sebab tradisi (atau tema apa pun) adalah arus beriak yang mengalir dan bergelombang.

Adegan Empat
Apa dan Bagaimana Ia Mengatakan?

Dalam proses penciptaan dari hulu ke hilir, kita mengenal riset tematik dan riset artistik, atau apa pun sebutannya. Riset tematik beroperasi di wilayah diskursif. Ia membongkar konteks historis, sosial, hingga filosofis dari sebuah isu. Ia membuka lanskap berpikir. Sementara riset artistik menyelami medan bentuk dan material seperti gestur, teknologi, teknik, komposisi, dan semacamnya. Keduanya kadang tidak berjalan linear, tetapi berjejalin, saling menggamit, saling menginfeksi. Dalam proses penggalian tema, boleh jadi bentuk mulai menampakkan dirinya. Dalam pengolahan bentuk, tema bisa beringsut, menjelma lain, dan boleh jadi itu justru memperkaya.

Setiap tema, sejatinya, tidak hanya tentang gugus gagasan, tetapi juga mengandung kemungkinan bentuk. Lebih jauh, tema juga menyarankan metodologi penciptaan tertentu yang sesuai dengan arah dan medan kerja yang ditawarkan. Dengan kata lain, tema bukanlah entitas abstrak yang mengambang di udara. Ia adalah kompas, rute yang mengandung arah, logika, dan kemungkinan materialitas yang konkret. Dalam dirinya, tema membawa semacam imaji, sensasi, bahkan potensi tubuh dan ruang, yang menuntut bentuknya sendiri. Inovasi artistik kerap kali lahir dari kepaduan eksplorasi konsep dan ketajaman seniman dalam merespons materialitas yang disarankan, sesuatu ditantang oleh tema itu sendiri.

Namun, saya menjumpai semacam keterputusan yang mencolok antara tema dan rencana bentuk artistik. Dalam banyak proposal, bentuk sering kali diperlakukan sebagai kerangka institusional yang membungkus tema, semacam kemasan prosedural. Dalam situasi semacam ini, inovasi bisa mandek di tataran tematik. Ia berhenti sebagai narasi, bukan sebagai pengalaman. Bagi saya, yang menjadikan karya berbicara bukan hanya apa yang dikatakan, melainkan juga bagaimana ia mengatakan. Dan di titik inilah antara tema dan bentuk sama pentingnya, sebab relasi keduanya tidak semata estetis, tetapi juga etis dan politis.

Yang politis adalah bagaimana bentuk bisa mengganggu atau mempertanyakan logika yang sering melekat pada tema tertentu. Bagaimana pilihan bentuk menjadi keputusan estetis, atau bahkan keputusan ideologis yang bisa membongkar atau justru mengafirmasi relasi kuasa yang sedang dibicarakan. Yang etis adalah bagaimana bentuk tidak memanipulasi tema sebagai alat justifikasi, atau sebaliknya, tidak memperlakukan tema sebagai aksesoris tanpa tanggung jawab terhadap kompleksitasnya.

Bentuk, dengan demikian, bukan medium netral. Ia adalah bagian dari sistem makna. Ia tak sekadar alat, ia adalah substansi itu sendiri. Di sinilah pentingnya melihat relasi keduanya sebagai dialektika yang saling memicu, saling menggugat, saling menyempurnakan. Sebab bentuk adalah cara berpikir yang diartikulasikan melalui dan oleh tubuh, ruang, waktu, komposisi, dan selain-lainnya.

Pikiran dan pernyataan saya di bagian ini tentu bisa diperdebatkan. Tidak ada kaidah tunggal. Barangkali Anda justru bekerja secara via negativa, memutus hubungan antara tema dan bentuk, memelintirnya, menciptakan benturan, bahkan membiarkan kontradiksi terbuka lebar. Mungkin itu bagian dari strategi artistik Anda sendiri. Dan itu sah belaka. Tetapi bila relasi tema dan bentuk dianggap remeh, dibiarkan mengambang tanpa kehendak artistik yang jelas, karya bisa kehilangan daya sasarnya.

Adegan Lima
Saling Berpilin

Beberapa proposal mengusung pendekatan kolaboratif. Apa yang kerap dimaksud dengan kolaborasi dalam banyak proposal adalah sebatas pertemuan antar-disiplin atau kerja bersama antara individu-individu dari latar seni yang berbeda. Kolaborasi dipahami sebagai akumulasi elemen-elemen artistik. Berdasar pengertian itu, ditegaskan atau tidak ditegaskan, tidakkah dalam dirinya, sesungguhnya seni pertunjukan sudah kolaboratif?

Yang saya maksudkan di sini adalah substansi dari apa yang hendak disasar oleh kerja kolaborasi itu? Apa agenda estetis dan politisnya di dalam tema, dalam bentuk, dalam …?  Kolaborasi dapat berarti menegosiasikan ulang nilai dan posisi, serta membayangkan ulang hubungan antara subjek, metode, dan medium. Ia semacam laboratorium, tempat di mana subjektivitas tidak dihapus, tetapi saling berpilin menjadi spiral yang saling melekat dan padu.

Kolaborasi mengandaikan semua yang terlibat untuk meletakkan sebagian subjektivitasnya di atas meja. Sebagian lainnya bersilangan, membiarkannya diganggu, diragukan, bahkan dibentuk ulang. Dalam ruang semacam ini, metode dari kolaborasi adalah sesuatu yang digali dan dibentuk bersama, dengan segala kemungkinan tarik-ulur, dan boleh jadi memunculkan friksi. Dan itu bagian dari dinamika proses.

Adegan Enam
Sebuah Kutukan

Tulisan ini tak cukup. Tak akan pernah cukup meringkus yang segala. Ia cuma mampu memapar sedikit dari ribuan lembar halaman proposal. Apa yang saya tulis di sini adalah tengara awal, semacam gelagat umum yang dinubuatkan oleh proposal para pelamar. Ada yang tampak samar, ada pula yang mencuat dengan terang. Tentu, yang saya baca adalah dokumen, yakni sebuah rencana, yang dalam prosesnya, sebagaimana lazimnya penciptaan karya pertunjukan, bisa saja berbelok, menukik, bahkan menyimpang ke arah yang tak pernah dibayangkan sejak mula.

Izinkan saya mengulang satu hal: tulisan ini bukan panduan, bukan pula resep keberhasilan. Saya tidak menulisnya dengan maksud memberi petunjuk arah. Kalau ternyata ia berguna, saya bersyukur. Jika pun tidak, semoga keberadaannya tidak mubazir belaka.

Seluruh proposal memiliki potensi, tentu dengan tahapan potensi yang berbeda-beda. Namun, kira-kira hampir seperempat dari dua ratusan proposal mencuri perhatian saya. Jika Anda adalah pengirim lamaran yang belum berkesempatan terpilih, itu tidak serta-merta berarti proposal Anda tak bernilai. Ini memang ‘kutukan’ dari mekanisme panggilan terbuka, hanya mampu memilih sedikit dari yang banyak.

Saya kira Yayasan Kelola tentu ingin memeluk gunung, apalah daya pastilah tangannya tak sampai. Kita memerlukan banyak tangan untuk bersama-sama merengkuh yang seluruh.

Bjirrrrr!

Scroll to Top