Kelola

EN

|

ID

UNTUK SENI DAN BUDAYA

EN

|

ID

KELOLA

UNTUK SENI DAN BUDAYA

PUBLISHED BY.
Kelola
SHARE
4. Web Banner - Kebun Warisan

Narasi dan Dimensi Waktu yang Bertumpuk

Oleh: Yudi Tajudin

(Catatan pengalaman menonton pertunjukan “Kebun Warisan: TANAH”, karya Rachmat Mustamin dan Studio Patodongi, Makassar)

Menuju Pertunjukan

Langit masih mendung tebal ketika saya tiba di Rumata Artspace, yang terletak di tengah komplek perumahan di sudut kota Makassar. Hujan baru saja selesai beberapa saat sebelumnya, berbarengan dengan waktu maghrib, setelah sesorean deras mengguyur ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu. Saya, dan Dara (program manajer dari Yayasan Kelola), segera menuju halaman belakang Rumata: area yang cukup luas yang disulap menjadi venue untuk serangkaian pertunjukan dalam festival Makassar Perform, yang berlangsung di tanggal 26-29 Juni 2025. Festival, yang juga menjadi platform presentasi untuk Kebun Warisan: Tanah, ditulis dan disutradarai oleh Rachmat Mustamin, penerima hibah karya inovatif Yayasan Kelola 2025. 

Berbeda dengan dua malam sebelumnya, ketika kami tiba di halaman belakang Rumata belum banyak penonton yang hadir. Satu dua petugas panggung masih berusaha mengeringkan area tribun, sementara petugas lain melakukan check-sound. Dua malam sebelumnya, penonton Makassar Perform sudah ramai sejak sebelum Maghrib tiba. Suasana festive sudah terasa sejak sore. Mungkin karena hari ini, hari ketiga fesival, hujan sesorean agak menghalangi antusiasme itu. Atau menundanya. 

Dan benar, menjelang jam 8 malam WITA penonton mulai berdatangan. Meski mendung masih tebal menggantung, meski sebagian tribun penonton masih sedikit basah, sekitar 200-an penonton mulai berdatangan dan duduk memenuhi area penonton. 2-3 tahun terakhir ini antusiasme anak-anak muda untuk datang meghadiri acara seni di Makassar memang tinggi sekali. Setidaknya saya menyaksikan hal itu dalam gelaran makassar International Writers Festival (MIWF) di tahun 2023 dan Festival Komunitas Seni Media (FKSM) di tahun 2024. 

Tak ada elevasi di area yang tampak dirancang sebagai panggung pertunjukan. Hanya lantai tanah yang sebagian area di tengahnya dilandasi konblok. Sementara area penonton disusun melalui tribun dari konstruksi besi dan kayu yang ditata sedikit melengkung; menciptakan kesan panggung agak bundar. 

Bentang kelebaran halaman belakang Rumata yang berkisar 20 meter, dan kedalaman area panggung hampir 15 meter, adalah ukuran panggung yang cukup lapang. Tapi di tengah bentang area panggung, dari tengah ke belakang, tumbuh 5 pohon besar yang seperti membentuk ruang segi lima. 

Keberadaan kelima pohon itu membuat area panggung terlihat dinamis, tanpa ada tambahan side-wings atau konstruksi panggung lain. Dan untuk konteks pertunjukan Kebun Warisan: Tanah, lanskap halaman belakang seperti itu, seperti dengan segera menerjemahkan latar dan ruang bagi naskah-lakon yang ditulis Rachmat Mustamin, yang memenangkan sayembara naskah lakon Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2022.

Di batang-batang pohon besar itu, agak tinggi, terikat kain putih yang menautkan kelima pohon satu sama lain. Bentang kain putih dengan ketinggian (lebar vertikal) berkisar 1 meter, yang menautkan kelima pohon itu, tak hanya menciptakan kesan angker dan ritualistik (seperti yang banyak kita temukan di pohon-pohon yang disakralkan di banyak daerah di Indonesia), tetapi kemudian juga akan menjadi layar proyeksi video di sepanjang pertunjukan Kebun Warisan. 

Sebuah meja, agak besar, berukuran sekitar 1 x 2 meter, di bawah keempat kakinya tampak 4 roda-roda kecil tertanam, berdiri diam di depan barisan pohon-pohon. Bagian atasnya tertutupi terpal plastik biru. Sejak tadi, sebaris lampu sesungguhnya telah menyinari meja bertutup terpal biru itu. 

Suara para penonton yang sejak tadi asyik berbincang satu sama lain, atau hanya duduk diam menyaksikan lanskap panggung, perlahan-lahan merendah lalu diam, ketika terdengar suara MC menyambut dan membuka pertunjukan. Seusai MC menyampaikan beberapa informasi terkait pertunjukan, penonton bertepuk tangan kecil, lampu di area panggung lalu padam. 

Pertunjukan pun dimulai. 

Babak 1 – Orang-orang  yang  Tumbuh di Kebun

Suara lagu populer dalam bahasa Bugis, seperti yang kerap terdengar di pete-pete, angkutan antar kota legendaris di Makassar (yang semakin sedikit keberadaannya), perlahan terdengar dalam kegelapan. Beberapa saat. Lalu lampu di area panggung merambat terang kembali. 

Seorang aktor, Sabri Sahafuddin, dalam kostum berkebun; sepatu boot, celana panjang dan polo-shirt yang telah lapuk, dan seikat sarung di pinggannya, masuk dari sisi kanan panggung. Ia lalu mengangkat terpal biru dari atas meja dan membawanya ke luar. Tindakan ini baisa kita temui pada para pedagang di pasar atau di pinggir jalan yang sedang membuka lapaknya. Dan dengan ini, si aktor seperti sedang membuka apa yang tadinya tertutup, lalu siap menghidangkan kisah-kisah yang sebelumnya tersembunyi, di atas meja, di atas panggung. 

Sabri masuk ke panggung kembali, kali ini membawa golok yang lalu ia letakkan di atas meja. Lalu keluar, dan masuk lagi membawa talenan kayu serta batu pengasah, yang keduanya lalu ia letakkan juga di atas meja, kemudian keluar kembali. Terakhir, dalam tempo berjalan keluar-masuk yang tak tergesa, ia datang menenteng ayam potong utuh, yang telah dicabuti bulunya, dan meletakkannya di atas talenan. Ia mengatur benda-benda itu beberapa saat, seperti tengah menyiapkan kisahnya. 

Benda-benda itu: golok, talenan kayu, batu asah, dan tubuh ayam potong utuh, kemudian menjadi penanda-penda penting dari pertunjukan yang menjajarkan kisah-kisah perihal sejarah gelap, dan berdarah, dari konflik dan pemberontakan DI-TII di tanah Bugis, yang disingkap oleh pertunjukan Kebun Warisan. Sebagaimana sejarah gelap lain di Indonesia, konflik berdarah  DI-TII di tanah Bugis ini juga tak banyak terungkap dan tak mendapatkan resolusinya. 

Sabri, sang aktor, lalu mulai memotong-motong tubuh ayam potong dengan goloknya. Setelah beberapa saat  tindakan itu ia lakukan, dengan nada rendah, sebagai Aman, perannya, Sabri mulai berbicara pada penonton. Ia berbicara dalam tempo yang lambat, di antara suara golok yang ia hujamkan pada tubuh ayam potong di atas talenan. 

“Hidupku semakin tak bisa saya kontrol. Bahagia? Itu pertanyaan yang tak bisa saya jawab.”

Dua kalimat itu mengawali narasi yang kemudian tergelar sepanjang pertunjukan. Perjalanan hidup yang kontrolnya berada di luar kuasa subjek, dan karenanya ia pun tak bisa menjawab apakah ia bahagia dengan hidupnya. 

Di Babak 1 ini, kisah memang berpusar pada curahan hati personal Aman, tentang hidupnya yang terjerat hutang pinjaman online di tanah rantau, yang membuatnya harus kembali ke rumah orang tuanya yang telah tiada, di kampung halamannya di Bone, dengan tujuan merayu adiknya satu-satunya, Hartati, untuk menjual kebun warisan mereka. Niat yang ditentang keras oleh Hartati, yang bertahan hidup dengan menjadi petani cabai di lahan warisan orang tua mereka.

Dengan strategi pemanggungan yang sederhana namun efektif, perjalanan hidup kakak beradik Aman dan Hartati diceritakan sebagian besar dalam serangkaian monolog oleh Sabri dan Ultry Muslimin (yang memerankan Hartati). Hanya ada dua-tiga kali kontak dialog singkat di antara keduanya di sepanjang pertunjukan berdurasi 50 menit ini. 

Tak ada properti panggung tambahan selain yang sudah tersebut di atas di dalam babak 1 ini: meja beroda, golok, talenan kayu, dan batu asahan. Dengan cukup cerdas, properti-properti itu dimainkan oleh Sabri dalam permainan asosiasi-asosiasi yang efektif; meja yang diduduki Sabri segera menciptakan kesan ia sedang berada di dalam mobil ketika menceritakan kisah perjalanan Aman menuju tempat rantau; meja yang ia dorong dan berputar di tempat ketika menceritakan kisah Aman sebagai tukang ojek; batu asahan sebagai hand-phone ketika menceritakan karakter Bupati yang sedang membicarakan proyek dengan Ancu, temannya yang menjerumuskannya dalam jerat pinjol untuk modal berdagang ayam potong. 

Babak 1 kemudian diakhiri dengan adegan komikal Aman kesurupan di kebun. 

Dalam usahanya merayu Hartati untuk menjual kebun warisan mereka, Aman membantu menyelidiki kejadian-kejadian aneh yang berlangsung di kebun, yang berujung Aman kesurupan. Kesurupan yang diceritakan dan sekaligus dilakonkan di atas musik dangdut berbahasa Bugis yang menggelegar. 

Di antara kesurupan dan joget dangdut ini, sang aktor menyampaikan bahwa “Kata orang-orang, Aman kesurupan hantu DI-TII.” 

Babak 2 – Cerita-cerita yang Tumbuh di Kebun

Momen kesurupan Aman di akhir babak 1 kemudian menjadi momen kritis yang menyingkap kelindan antara sejarah personal (Aman dan Hartati) dan sejarah sosial (konflik berdarah dalam pemberontakan DI-TII di Bone), serta dimensi waktu yang berbeda (masa lalu dan hari ini) yang semuanya bertumpuk di satu lokasi: kebun warisan.  

Seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, lanskap panggung yang merupakan sebuah kebun; halaman belakang dengan beberapa pohon dan lantai tanah, segera menjadi latar dan ruang yang menyampaikan kelindan narasi dan dimensi waktu tersebut. Memasuki babak ke-2, sutradara Rachmat Mustamin tak membutuhkan strategi pemanggungan tambahan, selain menggeser area permainan lebih banyak ke belakang, masuk ke area di antara pohon-pohon besar itu. Dengan demikian, plus lampu yang lebih temaram dan didominasi warna biru tua, serta ungu di beberapa bagian, kisah gelap kekerasan yang dilakukan DI-TII dalam menyebarkan dan memurnikan ajaran islam penduduk Bone, sebagai bagian dari tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia yang belum lama merdeka, segera bisa terlihat dan dirasakan oleh penonton. 

Tanpa perubahan apapun, selain tata lampu yang jauh lebih temaram dan berwarna biru, babak ini dimulai dengan monolog Hantu 1 (laki-laki) dan Hantu 2 (perempuan), yang dimainkan oleh kedua aktor yang sama. Kostum mereka berdua pun tak berubah. Hanya sarung yang tadinya terikat di pinggang Sabri, di bagian ini mulai dibuka dan dikenakan sebagai sarung. 

Awalnya, karena tak ada perubahan dalam kostum maupun make-up aktor, saya masih mengira yang bermonolog adalah tokoh Aman dan Hartati. Baru menjelang akhir babak ini, saya baru sadar, bahwa monolog-monolog itu adalah jajaran cerita tentang tokoh-tokoh lain: hantu-hantu korban kekerasan DI-TII. Entah disengaja atau tidak, situasi ini justru semakin menajamkan kelindan narasi personal dan sejarah sosial dalam satu tubuh. 

Di antara pohon-pohon dan lampu biru temaram, Sabri memulai adegan ini dalam nada rendah dan tempo lambat, menceritakan situasi warga ketika DI-TII memasuki daerah Bone. 

“… Di hutan ini tak ada perangkat masak. Saya tinggalkan semuanya untuk menyelamatkan nyawa. Saya hanya bisa lari ketika gerombolan itu datang. Mengatakan gerombolan saja, saya masih gemetar ini. Tubuh saya seperti dimasuki kecoa dari ketiak, selangkangan, kuku dan jari-jari, pantat, telinga. Saya dengar kami akan dipaksa mengaji dan salat. Tapi saya masih menghafal surah Al Fil. Surah Al Kautsar. Dan, syahadat. Hampir dua minggu saya dengan enam orang lain memutuskan pulang ke kebun, sembunyi di sana beberapa waktu siapa tahu gerombolan itu sudah pergi dan kembali ke hutan.”

Di akhir monolog ini, sesosok tokoh lain masuk ke panggung, melintas di depan Sabri, di antara pohon-pohon. Sosok dalam gelap itu awalnya sulit diidentifikasi. Baru ketika ia sedikit tersiram cahaya, saya bisa menangkap siluetnya: seorang lelaki, bersarung, berjaket, dan wajahnya ditutupi topeng gorilla. 

Sosok “gorilla” yang kemudian akan terlibat menyampaikan narasi-narasi representatif  tokoh pemberontak DI-TII dalam berinteraksi dengan warga. Interaksi yang disampaikan sebagai proses kuasa satu arah: mengislamkan penduduk dengan kekerasan. 

Seluruh nada di bagian ini berada dalam kerangka naratif itu: kekejaman gerilyawan pemberontak DI-TII.  Dua adegan yang paling dramatis, ketika Sabri menyampaikan monolog tokoh Hantu ditangkap dan dipaksa melafalkan ayat Al-Quran, dengan tubuh dan tangan terikat di sebatang pohon, dan ketika Ultry menceritakan tokoh Hantu yang lain yang harus melepaskan 7 babi piaraannya ke hutan karena perintah gerilyawan DI-TII. 

Kutipan monolog di bawah ini disampaikan oleh Ultry:

HANTU 4

“Mereka, orang-orang DI/TII, punya tujuan buat negara islam. Niatnya mungkin baik, tapi apakah hanya karena niatnya untuk kebaikan, lalu harus ditempuh dengan cara bunuh orang? 

Kalimat itu terngiang di kepala saya sebelum mereka membobol rumah saya. Mengambil beras satu karung, mengikat saya dan dibawa ke hutan. Kalimat itu lebih kencang saya ucapkan di dalam kepala sebelum seorang pasukan dari belakang, menggorok leher saya.” 

Ultry lalu terjatuh di tanah, sepert tubuh yang rubuh setelah kehilangan kepala. 

Monolog ini segera disusul oleh monolog Gorilla, yang sejak tadi berada di area belakang, di antara pepohonan temaram, membuat gestur-gestur seperti sedang memotong-motong buah kelapa, 

GORILLA

“Islam adalah agama yang damai, saudara-saudara. Seperti kedamaian yang terpancar dari mata seorang gadis ketika kami mendatangi rumahnya, ia kedapatan di plafon sedang bersembunyi. Saya suruh ia turun, dan coba mengaji. Pelan- pelan ia melafalkan surah An-Nas. 

Alhamdulillah! Alhamdulillah! 

Teman di samping saya bangga sekali. Saya kabarkan kepada Kahar, ia senang sekali. Saya tau kalau ia senang, ia akan menatap celana dalam sulaman isterinya, lama sekali.” 

Dengan ringan, mereka keluar masuk dari monolog satu ke monolog yang lain, dari hantu satu ke hantu yang lain, dari korban satu ke korban yang lain. Didukung oleh pencahayaan yang temaram, dan menekankan area pepohonan, adegan ini terasa sangat mencekam. Juga mengguncang: “Benarkah gerilyawan DI-TII melakukan kekejian itu? Ini informasi yang baru kuketahui”, pikiran semacam itu muncul di benak saya di sepanjang adegan di babak ini.

Jajaran monolog hantu-hantu korban DI-TII itu bersahutan dengan monolog tokoh Gorilla,  yang terasa betul ironi-nya: menyampaikan perasaan senang dan bangga setelah melakukan kekerasan dan pembunuhan dalam upaya mereka “mengislamkan” penduduk Bone.

Babak ini kemudian ditutup dengan adegan Sabri dan Ultry menjjadi babi-babi yang merangkak berkeliaran di panggung, sementara narasi lain terdengar dibacakan sang Penulis dari luar panggung.  

Intervensi narasi personal dari penulis (dalam hal ini, Rachmat Mustamin) yang disampaikan melalui mikrofon dari meja operator,  seperti mempertajam tumbukan narasi-narasi personal dan sejarah sosial di lakon ini.  Narasi yang disampikan penulis/narator adalah narasi “obyektif” dan bersifat presentasi (tidak sedang mewakili tokoh/karakter lain selain diri si penulis) yang menjelaskan konteks sejarah yang terjadi saat itu, yang ia dengar dari tuturan neneknya yang tinggal di Bone. 

NARATOR/PENULIS

“Pakaian hitam. Bertopi dan bersenjata. Orang pacaran, berdua- duaan lelaki-perempuan akan ditembak. Tidak pakai jilbab, ditembak. 

Masuk ke rumah dengan serampangan, seorang gadis sembunyi di Rakkeang. Ada rumah yang dibakar. Biasanya rumah yang dikunci, atau rumah yang sudah dijarah. Mayat dikumpulkan dan dikuburkan di Bulu’ Bue, Parigi. Ada lima klasifikasi: Tentara Jawa, Nippong, Sombang Balo, Gorilla. Katanya, lebih cakep Gorilla daripada Nippong.” 

Dari narasi penulis ini, sebagai penonton, saya juga kemudian baru tahu bahwa ‘gorilla’ adalah cara orang Bone menyebut pasukan geurilla DI-TII. Semacam pemiuhan pelisanan, entah sadar atau tidak, yang merepresentasikan trauma dan luka sejarah yang dalam. Di akhir narasi Narator/Penulis, di dalam kegelapan panggung, di antara proyeksi foto-foto beberapa sudut kota Bone yang lalu berganti dengan foto rumah serta sosok neneknya pada bentang layar yang meilit kelima batang pohon, dalam suara yang terasa personal, Rachmat melanjutkan cerita tentang neneknya:

“Selasa, 6 Agustus 2024 ia berpulang. Namanya Puang Nika. Apa yang ditinggalkan manusia ketika ia berpulang? 

Menyadari bahwa tuturan yang selalu ia lantunkan itu ialah warisannya kepada kepada kami. Ia adalah buku sejarah pertama tentang trauma dan kekerasan. Ia adalah perpustakaan untuk membaca kegagalan negara dan lembaga agama. 

Ia dimakamkan di Bone bersama ingatan-ingatannya, kisah-kisahnya yang tidak diakui negara. Nenek adalah kebun dan cerita-ceritanya ialah warisan pengetahuan yang terhubung pada sejarah kekuasaan dan kekerasan.” 

BABAK 3 – Cerita yang Dipetik dari Kebun 

Babak ketiga, babak penutup, berlangsung singkat saja. Narasi dikembalikan pada kisah kakak beradik Aman dan Hartati. Dimulai dengan kedua aktor utama duduk di kursi, terpisah secara diagonal, keduanya membelakangi penonton. Lalu aktor laki-laki, mengangkat tangan dan..

AMAN
Saya mau lebih banyak, Pak Hakim

HARTATI

Berapa?

AMAN
Mappus mki? (Bagaimana kalau kita

suit saja?)

HARTATI

Tidak mau.

Mereka berdua seperti berada di ruang sidang, seperti tengah berusaha menyelesaikan perselisihan soal kebun warisan mereka. 

Dua dialog terakhir lalu diulang-ulang dengan tempo semakin tinggi, mengiringi masuknya dua kru panggung yang membawa satu dinding panel cukup besar (berukuran sekitar 3×4 meter), lalu meletakkannya di tengah panggung, membelah kedua aktor itu. Kru panggung yang lain lalu membawa masuk meja dan meletakkannya di depan panel di sisi kiri. Panel itu sendiri, di tengahnya, tampak dua daun pintu transparan. 

Setelah panel dan meja diletakkan, musik dangdut populer di awal pertunjukan kembali terdengar. Di atas panel dan bentang layar putih, lalu terlihat proyeksi video menciptakan gambar interior sebuah supermarket, atau minimarket, lengkap dengan lemari pendingin berisi minuman atau sayuran. 

Ultry lalu mengambil posisi di belakang meja, seperti menjadi kasir yang menyapa Sabri yang masuk melalui pintu panel transparan, dengan sapaan khas para pegawai supermarket atau minimarket. Sabri kemudian seperti memilih-milih barang dan menuju tempat kasir, lalu membayarnya. 

Ketika Sabri keluar kembali melalui pintu panel, musik perlahan memiuh, terdistorsi, menjelma bebunyian yang abstrak, berbarengan dengan gambar di panel yang menunjukkan daun atau tanaman yang merambat dengan cepat menutup seluruh tanda-tanda visual supermarket. 

Ultry kemudian keluar dari ruangan itu. Lalu, di antara musik bebunyian abstrak, dan lampu yang kembali temaram dan berwarna biru, Sabri dan Ultry berdiri di belakag pintu panel transparan. Keduanya kembali menjadi hantu-hantu korban DI-TII. 

Dari balik pintu kaca/plastik transparan itu, dalam cahaya temaram, keduanya bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ini: 

“Kami sudah dibunuh oleh Gorilla. 

Sekarang dibunuh lagi sama bangunan ini.

Kepada siapa lagi kisah kami akan diceritakan 

bila ditimbun ekskavator, beton, besi, batu. 

Kepada siapa lagi kisah kami akan diteruskan?“

Musik lalu berubah, dengan tempo yang perlahan mencepat, mengantarkan kembali ke musik dangdut kesurupan. Sementara proyeksi di layar hilang sesaat, lalu berubah dengan imaji-imaji psychedelic penuh warna. 

Dalam gelegar musik dan warna, pertunjukan kemudian berakhir. 

Beberapa Refleksi Pasca Pertunjukan

Tidak banyak karya pertunjukan yang saya tonton, yang membuat saya berpikir panjang seusai menyaksikannya. Karya ini, Kebun Warisan: Tanah, adalah salah satunya. Terutama pada sisi isu yang diangkat oleh Rachmat Mustamin, penulis sekaligus sutradara pertunjukan ini. 

Harus saya akui, sejarah pemberontakan DI-TII di tanah Bugis, Sulawesi Selatan, tak banyak saya ketahui. Saya hanya tahu secara sekilas, dalam versi sejarah formal yang disampaikan di bangku pendidikan sekolah menengah. Menyaksikan pertunjukan ini, dan mendengar narasi-narasi korban kekejaman gerilyawan DI-TII di pelosok Sulawesi Selatan (Bone), sungguh menyentak pikiran saya. Saya tak pernah tahu bahwa dalam memperjuangkan tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia pasca kemerdekaan, gerilyawan DI-TII juga melakukan proses pengislaman penduduk dengan cara yang keras. Bahkan melakukan pembunuhan. Betapa ada banyak hal kelam yang tidak saya ketahui dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. 

Penting untuk dicatat, buat saya, naskah ini ditulis dengan baik. Struktur naskah 3 babak mencoba menempatkan isu yang berat itu dalam  konteks dan perspektif hari ini. Hal itu terlihat jelas dari penyusunan babak 1, yang dengan pintar ditulis sebagai jalan untuk penonton hari ini memasuki sjarah kelam yang terjadi di akhir 50-an sampai awal 60-an di Sulawesi Selatan itu. Melalui isu jerat hutang pinjaman online (pinjol) yang adalah isu hari ini, penonton diajak masuk ke sejarah kelam di masa lalu, melalui perjalanan tokohnya, Aman, kembali ke kampung halamannya di Bone, hendak menjual kebun warisannya. 

Dari sini, ‘warisan’ menjadi kata kunci utama di lakon ini. Apa yang di’waris’kan oleh generasi sebelumnya pada kita, penonton hari ini? Dalam konteks Rachmat Mustamin, warisan itu adalah sejarah pahit yang dilihat dan dialami oleh neneknya, Puang Nika, di tahun 60-an awal. Kata kunci yang lain, sebagaimana yang sudah tertera di judulnya adalah ‘kebun’. Kebun sebagai arsip hidup yang mempertemukan sejarah personal dan sejarah sosial. 

Tetapi, ada satu hal yang sampai hari ini masih mengusik saya. Kaya ini terasa sangat emosional, dan sepenuhnya ditulis serta dipentaskan dari perspektif yang tunggal: korban. Pelaku, gerilyawan DI-TII, sepenuhnya digambarkan dalam wajah yang menyeramkan (wajah gorila) dan penuh kekejian. 

Saya tidak ingin jatuh dalam both-sideism yang bisa membuat kita tak memvalidasi perasaan-perasaan korban, dalam hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh nenek sang penulis. Tetapi, sebagai suatu penyingkapan sejarah alternatif, saya kira juga penting untuk memasukkan konteks besar yang melatari kisah-kisah yang dituturkan di atas panggung. Gejolak politik dan identitas yang kompleks di Indonesia pasca kemerdekaan, serta, terutama, latar perang dingin (cold-war) yang dalam banyak peristiwa sejarah di periode itu ikut memainkan peran penting. Seingat saya, dalam versi naskah sebelumnya, narasi perang-dingin ini sempat muncul dalam teks pertunjukan. Bisa jadi ingatan saya keliru. Bisa jadi, ini hanya ekspektasi saya sebagai penonton. 

Hal lain yang juga mengusik saya seusai pentas adalah strategi dramaturgi pertunjukannya. Karena saya sempat membaca dramaturgi yang hendak dimasuki dan dicoba oleh Rachmat dalam proyek Hibah Inovatif Yayasan Kelola ini adalah kerangka dramaturgi intermedial (silang-media), saya mendambakan strategi-strategi kesilang-mediaan yang jauh dalam pertunjukan yang saya saksikan di Makassar ini. 

Dambaan saya ini juga diperkuat oleh pengetahuan saya atas latar belakang Rachmat yang lain: pembuat film. Menyaksikan adegan-adegan Kebun Warisan digelar di pangggung, saya bertanya-tanya kenapa Rachmat tak menggunakan logika ‘split-screen’, dua peristiwa yang berbeda disampaikan dalam waktu yang sama, dengan memberlah layar/panggung, dalam pengaturan adegan pertunjukannya. Atau logika ‘cut-to’ dalam transisi antar adegan di pertunjukan ini.

Struktur dan narativitas naskahnya menawarkan itu: jajaran monolog yang melompat-lompat ruang-waktunya. 

Saya membayangkan, jika strategi-strategi ke-silangmedia-an itu dimasuki jauh oleh Rachmat dan tim kreatifnya, maka irama pertunjukannya akan terasa lebih rapat dan dinamis. Teknik transisi yang digunakan oleh Rachmat dalam pertunjukan di Makassar, merujuk pada teknik transisi film: hampir semuanya menggunakan teknik “cross-fade”. Sementara, ada banyak sekali transisi dalam struktur naskah pertunjukan yang berisi serangkaian monolog ini. Dan menurut saya, Rachmat bisa menggunakan variasi teknik transisi lain, mencangkok dari teknik transisi di pembuatan film, seperti cut-to, cross-cut, atau J or L cut. 

Tetapi, penting juga saya apresiasi, intermediality dalam pertunjukan Rachmat sudah cukup terbangun di bagian audio atau ilustrasi musiknya. Kolaborasi pertunjukan dengan seorang disc-jokey (DJ), cukup memberi kesegaran pada bentuk pertunjukan. 

Catatan-catatan terakhir di wilayah ‘dramaturgi bentuk’ ini buat saya tak menghilangkan capaian besar di struktur penceritaan dan permainan bahasa Indonesia dengan dialek Makassar yang menawarkan kekayaan bahasa di atas panggung. Catatan-catatan itu penting untuk saya sampaikan, dengan harapan karya ini bisa terus bergulir menemukan kekayaan-kekayaan bentuknya dan bisa menjumpai pubik yang lebih luas. 

(Ditulis sebagai catatan kritis, bagian dari pelaksanaan program Hibah Inovatif – Yayasan Kelola)

4. Web Banner - Kebun Warisan

Narasi dan Dimensi Waktu yang Bertumpuk

Oleh: Yudi Tajudin

(Catatan pengalaman menonton pertunjukan “Kebun Warisan: TANAH”, karya Rachmat Mustamin dan Studio Patodongi, Makassar)

Menuju Pertunjukan

Langit masih mendung tebal ketika saya tiba di Rumata Artspace, yang terletak di tengah komplek perumahan di sudut kota Makassar. Hujan baru saja selesai beberapa saat sebelumnya, berbarengan dengan waktu maghrib, setelah sesorean deras mengguyur ibu kota provinsi Sulawesi Selatan itu. Saya, dan Dara (program manajer dari Yayasan Kelola), segera menuju halaman belakang Rumata: area yang cukup luas yang disulap menjadi venue untuk serangkaian pertunjukan dalam festival Makassar Perform, yang berlangsung di tanggal 26-29 Juni 2025. Festival, yang juga menjadi platform presentasi untuk Kebun Warisan: Tanah, ditulis dan disutradarai oleh Rachmat Mustamin, penerima hibah karya inovatif Yayasan Kelola 2025. 

Berbeda dengan dua malam sebelumnya, ketika kami tiba di halaman belakang Rumata belum banyak penonton yang hadir. Satu dua petugas panggung masih berusaha mengeringkan area tribun, sementara petugas lain melakukan check-sound. Dua malam sebelumnya, penonton Makassar Perform sudah ramai sejak sebelum Maghrib tiba. Suasana festive sudah terasa sejak sore. Mungkin karena hari ini, hari ketiga fesival, hujan sesorean agak menghalangi antusiasme itu. Atau menundanya. 

Dan benar, menjelang jam 8 malam WITA penonton mulai berdatangan. Meski mendung masih tebal menggantung, meski sebagian tribun penonton masih sedikit basah, sekitar 200-an penonton mulai berdatangan dan duduk memenuhi area penonton. 2-3 tahun terakhir ini antusiasme anak-anak muda untuk datang meghadiri acara seni di Makassar memang tinggi sekali. Setidaknya saya menyaksikan hal itu dalam gelaran makassar International Writers Festival (MIWF) di tahun 2023 dan Festival Komunitas Seni Media (FKSM) di tahun 2024. 

Tak ada elevasi di area yang tampak dirancang sebagai panggung pertunjukan. Hanya lantai tanah yang sebagian area di tengahnya dilandasi konblok. Sementara area penonton disusun melalui tribun dari konstruksi besi dan kayu yang ditata sedikit melengkung; menciptakan kesan panggung agak bundar. 

Bentang kelebaran halaman belakang Rumata yang berkisar 20 meter, dan kedalaman area panggung hampir 15 meter, adalah ukuran panggung yang cukup lapang. Tapi di tengah bentang area panggung, dari tengah ke belakang, tumbuh 5 pohon besar yang seperti membentuk ruang segi lima. 

Keberadaan kelima pohon itu membuat area panggung terlihat dinamis, tanpa ada tambahan side-wings atau konstruksi panggung lain. Dan untuk konteks pertunjukan Kebun Warisan: Tanah, lanskap halaman belakang seperti itu, seperti dengan segera menerjemahkan latar dan ruang bagi naskah-lakon yang ditulis Rachmat Mustamin, yang memenangkan sayembara naskah lakon Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2022.

Di batang-batang pohon besar itu, agak tinggi, terikat kain putih yang menautkan kelima pohon satu sama lain. Bentang kain putih dengan ketinggian (lebar vertikal) berkisar 1 meter, yang menautkan kelima pohon itu, tak hanya menciptakan kesan angker dan ritualistik (seperti yang banyak kita temukan di pohon-pohon yang disakralkan di banyak daerah di Indonesia), tetapi kemudian juga akan menjadi layar proyeksi video di sepanjang pertunjukan Kebun Warisan. 

Sebuah meja, agak besar, berukuran sekitar 1 x 2 meter, di bawah keempat kakinya tampak 4 roda-roda kecil tertanam, berdiri diam di depan barisan pohon-pohon. Bagian atasnya tertutupi terpal plastik biru. Sejak tadi, sebaris lampu sesungguhnya telah menyinari meja bertutup terpal biru itu. 

Suara para penonton yang sejak tadi asyik berbincang satu sama lain, atau hanya duduk diam menyaksikan lanskap panggung, perlahan-lahan merendah lalu diam, ketika terdengar suara MC menyambut dan membuka pertunjukan. Seusai MC menyampaikan beberapa informasi terkait pertunjukan, penonton bertepuk tangan kecil, lampu di area panggung lalu padam. 

Pertunjukan pun dimulai. 

Babak 1 – Orang-orang  yang  Tumbuh di Kebun

Suara lagu populer dalam bahasa Bugis, seperti yang kerap terdengar di pete-pete, angkutan antar kota legendaris di Makassar (yang semakin sedikit keberadaannya), perlahan terdengar dalam kegelapan. Beberapa saat. Lalu lampu di area panggung merambat terang kembali. 

Seorang aktor, Sabri Sahafuddin, dalam kostum berkebun; sepatu boot, celana panjang dan polo-shirt yang telah lapuk, dan seikat sarung di pinggannya, masuk dari sisi kanan panggung. Ia lalu mengangkat terpal biru dari atas meja dan membawanya ke luar. Tindakan ini baisa kita temui pada para pedagang di pasar atau di pinggir jalan yang sedang membuka lapaknya. Dan dengan ini, si aktor seperti sedang membuka apa yang tadinya tertutup, lalu siap menghidangkan kisah-kisah yang sebelumnya tersembunyi, di atas meja, di atas panggung. 

Sabri masuk ke panggung kembali, kali ini membawa golok yang lalu ia letakkan di atas meja. Lalu keluar, dan masuk lagi membawa talenan kayu serta batu pengasah, yang keduanya lalu ia letakkan juga di atas meja, kemudian keluar kembali. Terakhir, dalam tempo berjalan keluar-masuk yang tak tergesa, ia datang menenteng ayam potong utuh, yang telah dicabuti bulunya, dan meletakkannya di atas talenan. Ia mengatur benda-benda itu beberapa saat, seperti tengah menyiapkan kisahnya. 

Benda-benda itu: golok, talenan kayu, batu asah, dan tubuh ayam potong utuh, kemudian menjadi penanda-penda penting dari pertunjukan yang menjajarkan kisah-kisah perihal sejarah gelap, dan berdarah, dari konflik dan pemberontakan DI-TII di tanah Bugis, yang disingkap oleh pertunjukan Kebun Warisan. Sebagaimana sejarah gelap lain di Indonesia, konflik berdarah  DI-TII di tanah Bugis ini juga tak banyak terungkap dan tak mendapatkan resolusinya. 

Sabri, sang aktor, lalu mulai memotong-motong tubuh ayam potong dengan goloknya. Setelah beberapa saat  tindakan itu ia lakukan, dengan nada rendah, sebagai Aman, perannya, Sabri mulai berbicara pada penonton. Ia berbicara dalam tempo yang lambat, di antara suara golok yang ia hujamkan pada tubuh ayam potong di atas talenan. 

“Hidupku semakin tak bisa saya kontrol. Bahagia? Itu pertanyaan yang tak bisa saya jawab.”

Dua kalimat itu mengawali narasi yang kemudian tergelar sepanjang pertunjukan. Perjalanan hidup yang kontrolnya berada di luar kuasa subjek, dan karenanya ia pun tak bisa menjawab apakah ia bahagia dengan hidupnya. 

Di Babak 1 ini, kisah memang berpusar pada curahan hati personal Aman, tentang hidupnya yang terjerat hutang pinjaman online di tanah rantau, yang membuatnya harus kembali ke rumah orang tuanya yang telah tiada, di kampung halamannya di Bone, dengan tujuan merayu adiknya satu-satunya, Hartati, untuk menjual kebun warisan mereka. Niat yang ditentang keras oleh Hartati, yang bertahan hidup dengan menjadi petani cabai di lahan warisan orang tua mereka.

Dengan strategi pemanggungan yang sederhana namun efektif, perjalanan hidup kakak beradik Aman dan Hartati diceritakan sebagian besar dalam serangkaian monolog oleh Sabri dan Ultry Muslimin (yang memerankan Hartati). Hanya ada dua-tiga kali kontak dialog singkat di antara keduanya di sepanjang pertunjukan berdurasi 50 menit ini. 

Tak ada properti panggung tambahan selain yang sudah tersebut di atas di dalam babak 1 ini: meja beroda, golok, talenan kayu, dan batu asahan. Dengan cukup cerdas, properti-properti itu dimainkan oleh Sabri dalam permainan asosiasi-asosiasi yang efektif; meja yang diduduki Sabri segera menciptakan kesan ia sedang berada di dalam mobil ketika menceritakan kisah perjalanan Aman menuju tempat rantau; meja yang ia dorong dan berputar di tempat ketika menceritakan kisah Aman sebagai tukang ojek; batu asahan sebagai hand-phone ketika menceritakan karakter Bupati yang sedang membicarakan proyek dengan Ancu, temannya yang menjerumuskannya dalam jerat pinjol untuk modal berdagang ayam potong. 

Babak 1 kemudian diakhiri dengan adegan komikal Aman kesurupan di kebun. 

Dalam usahanya merayu Hartati untuk menjual kebun warisan mereka, Aman membantu menyelidiki kejadian-kejadian aneh yang berlangsung di kebun, yang berujung Aman kesurupan. Kesurupan yang diceritakan dan sekaligus dilakonkan di atas musik dangdut berbahasa Bugis yang menggelegar. 

Di antara kesurupan dan joget dangdut ini, sang aktor menyampaikan bahwa “Kata orang-orang, Aman kesurupan hantu DI-TII.” 

Babak 2 – Cerita-cerita yang Tumbuh di Kebun

Momen kesurupan Aman di akhir babak 1 kemudian menjadi momen kritis yang menyingkap kelindan antara sejarah personal (Aman dan Hartati) dan sejarah sosial (konflik berdarah dalam pemberontakan DI-TII di Bone), serta dimensi waktu yang berbeda (masa lalu dan hari ini) yang semuanya bertumpuk di satu lokasi: kebun warisan.  

Seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, lanskap panggung yang merupakan sebuah kebun; halaman belakang dengan beberapa pohon dan lantai tanah, segera menjadi latar dan ruang yang menyampaikan kelindan narasi dan dimensi waktu tersebut. Memasuki babak ke-2, sutradara Rachmat Mustamin tak membutuhkan strategi pemanggungan tambahan, selain menggeser area permainan lebih banyak ke belakang, masuk ke area di antara pohon-pohon besar itu. Dengan demikian, plus lampu yang lebih temaram dan didominasi warna biru tua, serta ungu di beberapa bagian, kisah gelap kekerasan yang dilakukan DI-TII dalam menyebarkan dan memurnikan ajaran islam penduduk Bone, sebagai bagian dari tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia yang belum lama merdeka, segera bisa terlihat dan dirasakan oleh penonton. 

Tanpa perubahan apapun, selain tata lampu yang jauh lebih temaram dan berwarna biru, babak ini dimulai dengan monolog Hantu 1 (laki-laki) dan Hantu 2 (perempuan), yang dimainkan oleh kedua aktor yang sama. Kostum mereka berdua pun tak berubah. Hanya sarung yang tadinya terikat di pinggang Sabri, di bagian ini mulai dibuka dan dikenakan sebagai sarung. 

Awalnya, karena tak ada perubahan dalam kostum maupun make-up aktor, saya masih mengira yang bermonolog adalah tokoh Aman dan Hartati. Baru menjelang akhir babak ini, saya baru sadar, bahwa monolog-monolog itu adalah jajaran cerita tentang tokoh-tokoh lain: hantu-hantu korban kekerasan DI-TII. Entah disengaja atau tidak, situasi ini justru semakin menajamkan kelindan narasi personal dan sejarah sosial dalam satu tubuh. 

Di antara pohon-pohon dan lampu biru temaram, Sabri memulai adegan ini dalam nada rendah dan tempo lambat, menceritakan situasi warga ketika DI-TII memasuki daerah Bone. 

“… Di hutan ini tak ada perangkat masak. Saya tinggalkan semuanya untuk menyelamatkan nyawa. Saya hanya bisa lari ketika gerombolan itu datang. Mengatakan gerombolan saja, saya masih gemetar ini. Tubuh saya seperti dimasuki kecoa dari ketiak, selangkangan, kuku dan jari-jari, pantat, telinga. Saya dengar kami akan dipaksa mengaji dan salat. Tapi saya masih menghafal surah Al Fil. Surah Al Kautsar. Dan, syahadat. Hampir dua minggu saya dengan enam orang lain memutuskan pulang ke kebun, sembunyi di sana beberapa waktu siapa tahu gerombolan itu sudah pergi dan kembali ke hutan.”

Di akhir monolog ini, sesosok tokoh lain masuk ke panggung, melintas di depan Sabri, di antara pohon-pohon. Sosok dalam gelap itu awalnya sulit diidentifikasi. Baru ketika ia sedikit tersiram cahaya, saya bisa menangkap siluetnya: seorang lelaki, bersarung, berjaket, dan wajahnya ditutupi topeng gorilla. 

Sosok “gorilla” yang kemudian akan terlibat menyampaikan narasi-narasi representatif  tokoh pemberontak DI-TII dalam berinteraksi dengan warga. Interaksi yang disampaikan sebagai proses kuasa satu arah: mengislamkan penduduk dengan kekerasan. 

Seluruh nada di bagian ini berada dalam kerangka naratif itu: kekejaman gerilyawan pemberontak DI-TII.  Dua adegan yang paling dramatis, ketika Sabri menyampaikan monolog tokoh Hantu ditangkap dan dipaksa melafalkan ayat Al-Quran, dengan tubuh dan tangan terikat di sebatang pohon, dan ketika Ultry menceritakan tokoh Hantu yang lain yang harus melepaskan 7 babi piaraannya ke hutan karena perintah gerilyawan DI-TII. 

Kutipan monolog di bawah ini disampaikan oleh Ultry:

HANTU 4

“Mereka, orang-orang DI/TII, punya tujuan buat negara islam. Niatnya mungkin baik, tapi apakah hanya karena niatnya untuk kebaikan, lalu harus ditempuh dengan cara bunuh orang? 

Kalimat itu terngiang di kepala saya sebelum mereka membobol rumah saya. Mengambil beras satu karung, mengikat saya dan dibawa ke hutan. Kalimat itu lebih kencang saya ucapkan di dalam kepala sebelum seorang pasukan dari belakang, menggorok leher saya.” 

Ultry lalu terjatuh di tanah, sepert tubuh yang rubuh setelah kehilangan kepala. 

Monolog ini segera disusul oleh monolog Gorilla, yang sejak tadi berada di area belakang, di antara pepohonan temaram, membuat gestur-gestur seperti sedang memotong-motong buah kelapa, 

GORILLA

“Islam adalah agama yang damai, saudara-saudara. Seperti kedamaian yang terpancar dari mata seorang gadis ketika kami mendatangi rumahnya, ia kedapatan di plafon sedang bersembunyi. Saya suruh ia turun, dan coba mengaji. Pelan- pelan ia melafalkan surah An-Nas. 

Alhamdulillah! Alhamdulillah! 

Teman di samping saya bangga sekali. Saya kabarkan kepada Kahar, ia senang sekali. Saya tau kalau ia senang, ia akan menatap celana dalam sulaman isterinya, lama sekali.” 

Dengan ringan, mereka keluar masuk dari monolog satu ke monolog yang lain, dari hantu satu ke hantu yang lain, dari korban satu ke korban yang lain. Didukung oleh pencahayaan yang temaram, dan menekankan area pepohonan, adegan ini terasa sangat mencekam. Juga mengguncang: “Benarkah gerilyawan DI-TII melakukan kekejian itu? Ini informasi yang baru kuketahui”, pikiran semacam itu muncul di benak saya di sepanjang adegan di babak ini.

Jajaran monolog hantu-hantu korban DI-TII itu bersahutan dengan monolog tokoh Gorilla,  yang terasa betul ironi-nya: menyampaikan perasaan senang dan bangga setelah melakukan kekerasan dan pembunuhan dalam upaya mereka “mengislamkan” penduduk Bone.

Babak ini kemudian ditutup dengan adegan Sabri dan Ultry menjjadi babi-babi yang merangkak berkeliaran di panggung, sementara narasi lain terdengar dibacakan sang Penulis dari luar panggung.  

Intervensi narasi personal dari penulis (dalam hal ini, Rachmat Mustamin) yang disampaikan melalui mikrofon dari meja operator,  seperti mempertajam tumbukan narasi-narasi personal dan sejarah sosial di lakon ini.  Narasi yang disampikan penulis/narator adalah narasi “obyektif” dan bersifat presentasi (tidak sedang mewakili tokoh/karakter lain selain diri si penulis) yang menjelaskan konteks sejarah yang terjadi saat itu, yang ia dengar dari tuturan neneknya yang tinggal di Bone. 

NARATOR/PENULIS

“Pakaian hitam. Bertopi dan bersenjata. Orang pacaran, berdua- duaan lelaki-perempuan akan ditembak. Tidak pakai jilbab, ditembak. 

Masuk ke rumah dengan serampangan, seorang gadis sembunyi di Rakkeang. Ada rumah yang dibakar. Biasanya rumah yang dikunci, atau rumah yang sudah dijarah. Mayat dikumpulkan dan dikuburkan di Bulu’ Bue, Parigi. Ada lima klasifikasi: Tentara Jawa, Nippong, Sombang Balo, Gorilla. Katanya, lebih cakep Gorilla daripada Nippong.” 

Dari narasi penulis ini, sebagai penonton, saya juga kemudian baru tahu bahwa ‘gorilla’ adalah cara orang Bone menyebut pasukan geurilla DI-TII. Semacam pemiuhan pelisanan, entah sadar atau tidak, yang merepresentasikan trauma dan luka sejarah yang dalam. Di akhir narasi Narator/Penulis, di dalam kegelapan panggung, di antara proyeksi foto-foto beberapa sudut kota Bone yang lalu berganti dengan foto rumah serta sosok neneknya pada bentang layar yang meilit kelima batang pohon, dalam suara yang terasa personal, Rachmat melanjutkan cerita tentang neneknya:

“Selasa, 6 Agustus 2024 ia berpulang. Namanya Puang Nika. Apa yang ditinggalkan manusia ketika ia berpulang? 

Menyadari bahwa tuturan yang selalu ia lantunkan itu ialah warisannya kepada kepada kami. Ia adalah buku sejarah pertama tentang trauma dan kekerasan. Ia adalah perpustakaan untuk membaca kegagalan negara dan lembaga agama. 

Ia dimakamkan di Bone bersama ingatan-ingatannya, kisah-kisahnya yang tidak diakui negara. Nenek adalah kebun dan cerita-ceritanya ialah warisan pengetahuan yang terhubung pada sejarah kekuasaan dan kekerasan.” 

BABAK 3 – Cerita yang Dipetik dari Kebun 

Babak ketiga, babak penutup, berlangsung singkat saja. Narasi dikembalikan pada kisah kakak beradik Aman dan Hartati. Dimulai dengan kedua aktor utama duduk di kursi, terpisah secara diagonal, keduanya membelakangi penonton. Lalu aktor laki-laki, mengangkat tangan dan..

AMAN
Saya mau lebih banyak, Pak Hakim

HARTATI

Berapa?

AMAN
Mappus mki? (Bagaimana kalau kita

suit saja?)

HARTATI

Tidak mau.

Mereka berdua seperti berada di ruang sidang, seperti tengah berusaha menyelesaikan perselisihan soal kebun warisan mereka. 

Dua dialog terakhir lalu diulang-ulang dengan tempo semakin tinggi, mengiringi masuknya dua kru panggung yang membawa satu dinding panel cukup besar (berukuran sekitar 3×4 meter), lalu meletakkannya di tengah panggung, membelah kedua aktor itu. Kru panggung yang lain lalu membawa masuk meja dan meletakkannya di depan panel di sisi kiri. Panel itu sendiri, di tengahnya, tampak dua daun pintu transparan. 

Setelah panel dan meja diletakkan, musik dangdut populer di awal pertunjukan kembali terdengar. Di atas panel dan bentang layar putih, lalu terlihat proyeksi video menciptakan gambar interior sebuah supermarket, atau minimarket, lengkap dengan lemari pendingin berisi minuman atau sayuran. 

Ultry lalu mengambil posisi di belakang meja, seperti menjadi kasir yang menyapa Sabri yang masuk melalui pintu panel transparan, dengan sapaan khas para pegawai supermarket atau minimarket. Sabri kemudian seperti memilih-milih barang dan menuju tempat kasir, lalu membayarnya. 

Ketika Sabri keluar kembali melalui pintu panel, musik perlahan memiuh, terdistorsi, menjelma bebunyian yang abstrak, berbarengan dengan gambar di panel yang menunjukkan daun atau tanaman yang merambat dengan cepat menutup seluruh tanda-tanda visual supermarket. 

Ultry kemudian keluar dari ruangan itu. Lalu, di antara musik bebunyian abstrak, dan lampu yang kembali temaram dan berwarna biru, Sabri dan Ultry berdiri di belakag pintu panel transparan. Keduanya kembali menjadi hantu-hantu korban DI-TII. 

Dari balik pintu kaca/plastik transparan itu, dalam cahaya temaram, keduanya bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ini: 

“Kami sudah dibunuh oleh Gorilla. 

Sekarang dibunuh lagi sama bangunan ini.

Kepada siapa lagi kisah kami akan diceritakan 

bila ditimbun ekskavator, beton, besi, batu. 

Kepada siapa lagi kisah kami akan diteruskan?“

Musik lalu berubah, dengan tempo yang perlahan mencepat, mengantarkan kembali ke musik dangdut kesurupan. Sementara proyeksi di layar hilang sesaat, lalu berubah dengan imaji-imaji psychedelic penuh warna. 

Dalam gelegar musik dan warna, pertunjukan kemudian berakhir. 

Beberapa Refleksi Pasca Pertunjukan

Tidak banyak karya pertunjukan yang saya tonton, yang membuat saya berpikir panjang seusai menyaksikannya. Karya ini, Kebun Warisan: Tanah, adalah salah satunya. Terutama pada sisi isu yang diangkat oleh Rachmat Mustamin, penulis sekaligus sutradara pertunjukan ini. 

Harus saya akui, sejarah pemberontakan DI-TII di tanah Bugis, Sulawesi Selatan, tak banyak saya ketahui. Saya hanya tahu secara sekilas, dalam versi sejarah formal yang disampaikan di bangku pendidikan sekolah menengah. Menyaksikan pertunjukan ini, dan mendengar narasi-narasi korban kekejaman gerilyawan DI-TII di pelosok Sulawesi Selatan (Bone), sungguh menyentak pikiran saya. Saya tak pernah tahu bahwa dalam memperjuangkan tujuan mendirikan negara Islam di Indonesia pasca kemerdekaan, gerilyawan DI-TII juga melakukan proses pengislaman penduduk dengan cara yang keras. Bahkan melakukan pembunuhan. Betapa ada banyak hal kelam yang tidak saya ketahui dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. 

Penting untuk dicatat, buat saya, naskah ini ditulis dengan baik. Struktur naskah 3 babak mencoba menempatkan isu yang berat itu dalam  konteks dan perspektif hari ini. Hal itu terlihat jelas dari penyusunan babak 1, yang dengan pintar ditulis sebagai jalan untuk penonton hari ini memasuki sjarah kelam yang terjadi di akhir 50-an sampai awal 60-an di Sulawesi Selatan itu. Melalui isu jerat hutang pinjaman online (pinjol) yang adalah isu hari ini, penonton diajak masuk ke sejarah kelam di masa lalu, melalui perjalanan tokohnya, Aman, kembali ke kampung halamannya di Bone, hendak menjual kebun warisannya. 

Dari sini, ‘warisan’ menjadi kata kunci utama di lakon ini. Apa yang di’waris’kan oleh generasi sebelumnya pada kita, penonton hari ini? Dalam konteks Rachmat Mustamin, warisan itu adalah sejarah pahit yang dilihat dan dialami oleh neneknya, Puang Nika, di tahun 60-an awal. Kata kunci yang lain, sebagaimana yang sudah tertera di judulnya adalah ‘kebun’. Kebun sebagai arsip hidup yang mempertemukan sejarah personal dan sejarah sosial. 

Tetapi, ada satu hal yang sampai hari ini masih mengusik saya. Kaya ini terasa sangat emosional, dan sepenuhnya ditulis serta dipentaskan dari perspektif yang tunggal: korban. Pelaku, gerilyawan DI-TII, sepenuhnya digambarkan dalam wajah yang menyeramkan (wajah gorila) dan penuh kekejian. 

Saya tidak ingin jatuh dalam both-sideism yang bisa membuat kita tak memvalidasi perasaan-perasaan korban, dalam hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh nenek sang penulis. Tetapi, sebagai suatu penyingkapan sejarah alternatif, saya kira juga penting untuk memasukkan konteks besar yang melatari kisah-kisah yang dituturkan di atas panggung. Gejolak politik dan identitas yang kompleks di Indonesia pasca kemerdekaan, serta, terutama, latar perang dingin (cold-war) yang dalam banyak peristiwa sejarah di periode itu ikut memainkan peran penting. Seingat saya, dalam versi naskah sebelumnya, narasi perang-dingin ini sempat muncul dalam teks pertunjukan. Bisa jadi ingatan saya keliru. Bisa jadi, ini hanya ekspektasi saya sebagai penonton. 

Hal lain yang juga mengusik saya seusai pentas adalah strategi dramaturgi pertunjukannya. Karena saya sempat membaca dramaturgi yang hendak dimasuki dan dicoba oleh Rachmat dalam proyek Hibah Inovatif Yayasan Kelola ini adalah kerangka dramaturgi intermedial (silang-media), saya mendambakan strategi-strategi kesilang-mediaan yang jauh dalam pertunjukan yang saya saksikan di Makassar ini. 

Dambaan saya ini juga diperkuat oleh pengetahuan saya atas latar belakang Rachmat yang lain: pembuat film. Menyaksikan adegan-adegan Kebun Warisan digelar di pangggung, saya bertanya-tanya kenapa Rachmat tak menggunakan logika ‘split-screen’, dua peristiwa yang berbeda disampaikan dalam waktu yang sama, dengan memberlah layar/panggung, dalam pengaturan adegan pertunjukannya. Atau logika ‘cut-to’ dalam transisi antar adegan di pertunjukan ini.

Struktur dan narativitas naskahnya menawarkan itu: jajaran monolog yang melompat-lompat ruang-waktunya. 

Saya membayangkan, jika strategi-strategi ke-silangmedia-an itu dimasuki jauh oleh Rachmat dan tim kreatifnya, maka irama pertunjukannya akan terasa lebih rapat dan dinamis. Teknik transisi yang digunakan oleh Rachmat dalam pertunjukan di Makassar, merujuk pada teknik transisi film: hampir semuanya menggunakan teknik “cross-fade”. Sementara, ada banyak sekali transisi dalam struktur naskah pertunjukan yang berisi serangkaian monolog ini. Dan menurut saya, Rachmat bisa menggunakan variasi teknik transisi lain, mencangkok dari teknik transisi di pembuatan film, seperti cut-to, cross-cut, atau J or L cut. 

Tetapi, penting juga saya apresiasi, intermediality dalam pertunjukan Rachmat sudah cukup terbangun di bagian audio atau ilustrasi musiknya. Kolaborasi pertunjukan dengan seorang disc-jokey (DJ), cukup memberi kesegaran pada bentuk pertunjukan. 

Catatan-catatan terakhir di wilayah ‘dramaturgi bentuk’ ini buat saya tak menghilangkan capaian besar di struktur penceritaan dan permainan bahasa Indonesia dengan dialek Makassar yang menawarkan kekayaan bahasa di atas panggung. Catatan-catatan itu penting untuk saya sampaikan, dengan harapan karya ini bisa terus bergulir menemukan kekayaan-kekayaan bentuknya dan bisa menjumpai pubik yang lebih luas. 

(Ditulis sebagai catatan kritis, bagian dari pelaksanaan program Hibah Inovatif – Yayasan Kelola)

Scroll to Top