Oleh: Rebecca Kezia (disusun sebagai catatan kritis program Yayasan Kelola)
Juni, 18 2025. Hujan mengguyur Kotabumi, Lampung sejak sore. Selepas magrib, intensitasnya berkurang, menyisakan rintik sesekali. Di halaman rumah itu, tubuh-tubuh berpakaian hitam tampak siaga menanggulangi ketakterdugaan dengan menghampar alas duduk, mengeringkan tanah berlapis semen di halaman, mengatur imaji yang ditembakan ke badan pohon mangga, menyusun cahaya, menguji suara—segalanya menandai bahwa sesuatu akan hadir. Sebuah peristiwa.
Begitulah pentas perdana Torso karya Ayu Permatasari diselenggarakan—di halaman rumahnya yang luas, yang malam itu bertransormasi menjadi ruang pertemuan warga Kotabumi. Menurut Ayu Permatasari dan Nabila Kurnia, produser karya ini, pentas Torso merupakan perjumpaan pertama warga Kotabumi dengan tari kontemporer. Sebelumnya, mereka lebih akrab dengan tari tradisi dan kreasi dari sanggar-sanggar yang merawat tubuh sejak usia belia. Maka, pertunjukan ini menjadi istimewa dalam dua hal:
Pertama, karena warga disuguhi tawaran baru—dalam gagasan, bentuk, maupun cara menonton.
Kedua, karena bagi Ayu, ini adalah laku pulang: sebuah kepulangan eksistensial setelah berproses di banyak penjuru luar Lampung, untuk kembali membaca dan menafsir ulang tradisi yang mula-mula membentuk tubuh dan kesadarannya.
Tim Ayu Permata Dance Company menyebutnya open studio—barangkali karena rumah yang juga menjadi ruang penciptaan, kini dibuka bagi publik. Mungkin juga karena kesadaran akan bentuk yang belum selesai; kelenturan dalam menonton, transformasi halaman menjadi panggung, serta dialog yang hendak dijalin malam itu. Namun bagi saya pribadi, penyebutan ini tak mengurangi bobot karya. Justru ruang yang tak tunduk pada pakem pertunjukan konvensional—dengan segala arsitektur materialnya, tubuh-tubuh yang bergerak, serta narasi yang hidup—memberi nilai lebih bagi Torso versi Kotabumi.
Yang membuatnya kian menyentuh adalah cara tubuh dan ruang saling menjalin. Misalnya, proyeksi imaji ke pohon mangga—menciptakan perbincangan antara tubuh Ayu yang nyata dan tubuh Ayu yang konseptual dalam cahaya. Tekstur daun, bentuk batang, dan garis-garis gambar yang samar memperkaya tafsir atas gagasan expanded cinema yang ditawarkan Soemantri Gelar, kolaborator visual karya ini. Tubuh konseptual yang menari dalam distorsi proyeksi bukan sekadar elemen estetika, melainkan Bahasa lain dalam koreografi Torso.
Pencahayaan bersahaja namun bermakna oleh Sulhan: lampu-lampu berdiri, satu warna, memainkan intensitas, menyoroti bagian-bagian tertentu, kadang menciptakan fokus kadang pula siluet pada tubuh Ayu yang bergerak di lingkaran dengan garis putih tepung tapioka. Hingga satu momen: ketika Ayu menyepak garis batas—garis yang sedari awal mengekangnya. Tepung beterbangan bagai asap, melayang ke udara. Tubuh Ayu, kini bebas, menari leluasa ke kiri dan kanan, seluas cahaya yang membuka ruang. Pada titik itu, saya merasa Ayu sedang berteriak—di antara musik bertalu, kepulan asap tepung dalam cahaya, dan deru nafasnya. Musik yang dikembangkan oleh Edythia Rio—yang kerap disapa Rio—bersumber dari suara-suara keseharian rumah Ayu: dari denting dapur, aktivitas kebun cabai, hingga latihan tari. Elemen-elemen ini dipadukan dengan arsip Cangget dan Sigeh Pengunten, rekaman suara maestro, serta treatment elektronik.
Lalu ia menepi. Mengatur nafas. Matanya tertuju pada pohon mangga yang kini memantulkan siger—mahkota yang dikenakan penari Perempuan juga untuk pengantin. Ia melantunkan ringget. Ringget adalah pantun atau syair yang dilisankan masyarakat Lampung berisi nasihat. Namun kali ini, Ayu hanya melantunkan nada—tanpa kata. Sebuah senandung tanpa tanda yang menjadi universal. Ia menyelesaikan ringget dan kembali ke titik awal. Di sana, tubuhnya melanjutkan perjalanan dengan torso yang sepenuhnya bebas.
Imaji di pohon meredup. Cahaya di panggung padam. Suara perlahan menghilang. Tapi tubuh Ayu masih terus bergerak dalam samar. Hanya sekejap. Sampai lampu menyala kembali. Ia membungkuk. Sajian pertama Ayu untuk Kotabumi usai. Penonton menyambutnya dengan hangat juga antusias. Tepuk tangan dari sekitar 100 orang Kotabumi yang berkumpul di halaman rumah Ayu melepas ketegangan pada Ayu dan seluruh tim Ketika mereka berkomitmen “mengganggu” hal-hal yang akrab di sana dengan Torso.
Torso yang Membuka dan Ruang yang tetap Rapat
Bagi saya yang berkesempatan menyaksikan Torso dalam dua versi pemanggungan, penubuhan gagasan melalui ruang menjadi segalanya bagi karya ini. Beberapa hari setelah pementasan intim di halaman rumah Ayu di Kotabumi, Torso dipentaskan kembali dalam format proscenium di ruang teater Dewan Kesenian Lampung. Peralihan ini bukan sekadar perubahan lokasi, melainkan perubahan fundamental dalam cara gagasan tubuh, tradisi, dan gender bercakap melalui ruang teater.
Ruang teater dengan konstruksi panggung berdinding menciptakan logika visual yang rapi dan steril, menghilangkan segala bentuk spontanitas dari kehidupan yang tak terencana. Segala yang sebelumnya cair dan distortif dalam pentas di Kotabumi kini ditertibkan dalam kemasan artistik yang terukur. Hal ini tentu berbeda dengan pementasan di halaman rumah Ayu—sebuah ruang hidup yang tak kedap dari denyut lingkungan sekitar: suara kendaraan berlalu, teriakan anak-anak, penonton yang bebas bergerak, kudapan yang dikunyah, dan spontanitas sosial lainnya yang menjadi bagian dari pengalaman menonton.
Perbedaan signifikan lainnya terletak pada permainan cahaya, baik lampu pertunjukan maupun proyeksi visual. Di ruang teater, sorotan lampu menghadirkan spektrum warna dan posisi yang menjadi bahasa tersendiri. Filter-filter warna kadang menjadi tantangan. Ia bisa jadi mengganggu fokus tatapan terhadap tuturan Ayu tentang tubuh perempuan Lampung yang bernegosiasi dengan tradisi dan modernitas. Bagi saya, intensitas kesakralan justru lebih muncul dari keterbatasan pencahayaan di halaman rumahnya. Pencahayaan ini terasa lebih pas untuk percakapan yang digerakan Ayu.
Demikian pula dengan proyeksi visual. Di panggung prosenium, proyeksi pada dinding menghasilkan imaji yang tegas dan terbingkai—nyaris seperti film. Garis tubuh menjadi kontras, lekuk menjadi nyata. Namun di halaman rumah Ayu, tiadanya bidang konkret membuat pohon mangga dengan bentuk non-geometris berperan sebagai bidang proyeksi yang absurd. Tubuh Ayu yang terekam menjadi lebih konseptual, lebih tak terdefinisi. Perbedaan ini menggeser pengalaman visual dari sesuatu yang absurd dan reflektif menjadi sesuatu yang representasional walau tak sepenuhnya demikian.
Pengalaman melihat demikian mungkin diperlukan bagi kita untuk melunakan cara pandang dalam percakapan gender. Gender, dalam performativitasnya, bukan sesuatu yang tinggal dan tetap. Ia bergerak, mengikuti ruang. Dan ruang, sebagaimana kita tahu, selalu dipenuhi nilai: ia politis, sekaligus etis. Estetis dalam sensualitas, tapi bekerja keras untuk terus relevan, melawan beku.Kita bisa mencoba menalar dan merumuskannya secara sistematis. Namun tubuh selalu lebih dulu tahu: ia menyimpan kemungkinan yang belum sempat dilafalkan, belum tuntas ditafsirkan. Dalam tubuh, nilai-nilai baru menunggu untuk diuji, untuk ditafsir ulang.
Penafsiran ulang pun terjadi pada aspek akustik. Dalam ruang tertutup yang kedap suara, komposisi Rio menjadi satu-satunya lapisan bunyi yang menggiring emosi audiens. Arsitektur dan norma tak tertulis dalam ruang pertunjukan turut mengatur bagaimana suara harus didengar dan direspons. Ruang ini tak bisa mengubah dirinya mengikuti karya yang hendak masuk ke dalam. Kelengkapan ini dibangun oleh satu logika mengenai pertunjukan yang mungkin juga tak lagi relevan untuk beberapa percakapan yang membutuhkan kelenturan. Dan karenanya, Ketika karya memasuki ruang seperti ini, pengkarya harus memiliki sensitivitas untuk meretas ruang melalui negosiasi bentuk supaya gagasan tak habis tertelan dan mentah.
Mereka memanfaatkan cara kolaborasi lintasdisiplin yang memungkinkan negosiasi artistik untuk penyesuaian di ruang teater Dewan Kesenian Lampung. Ayu dan Rio menyepakati pengurangan beberapa bagian musik untuk menghindari kejenuhan atas suara yang terus bersambung dari satu segmen ke segmen lainnya. Perubahan yang saya sadari terjadi pada momen Ringget, yang kini hadir dalam keheningan, tanpa soundscape. Senyap ini memberi keleluasaan bagi penonton untuk mencerna peristiwa secara lebih dalam, tanpa distraksi ritme atau harmoni tertentu.
Menatap, Mengalami dan Menginterupsi Torso
Saya mengamati bahwa perjumpaan Torso dengan penonton di Dewan Kesenian Lampung justru memiliki ketegangan yang berbeda dari yang terjadi di Kotabumi. Jika sebelumnya di Kotabumi, Ayu dan tim mencemaskan resistensi masyarakat terhadap upaya membaca ulang tradisi—yang kemudian tak terbukti pada sesi diskusi lepas pentas—maka di Bandar Lampung ketegangan muncul dari ekspektasi publik atas apa yang dianggap kontemporer, yang baru. Ada ideal yang—secara diam-diam—diinginkan hadir dalam setiap karya Ayu.
Saya sempat berdiskusi dengan Ayu untuk mengecek beberapa pilihan pemanggungan yang muncul dalam dua kesempatan, utamanya pada bentuk-bentuk koreografis. Saya, mungkin juga seperti beberapa penonton di Bandar Lampung, greget. Kami mencari Ayu yang biasa bergerak pada yang tak lazim, yang kecil seperti pada karya Tubuh Dang Tubuh Dut yang mengambil perspektif tubuh penonton alih-alih subyek biduan yang menonjol atau pada Li Tu Tu dan X yang memainkan intensitas—dalam hening, kalau tak salah ingat—dengan Gerak fisikal yang menantang.
Karya ini tidak sama. Ayu bukan semata seniman yang berdiri di luar konteks, mencatat lalu bereaksi. Ia hadir—dengan tubuh, dengan sejarah—membaca ulang lanskap yang membentuknya: tradisi dan nilai yang tidak jauh, tidak asing, bahkan mungkin terlalu dekat. Karya Torso, sebagaimana Ayu, tumbuh dan melekat di Kotabumi, pada masyarakat Lampung dan cara mereka menatap, berjalan, bersuara. Tari, dalam tradisi, bukan sekadar bentuk. Ia lahir dari laku hidup, dari keterikatan pada tanah, pada musim, pada pangan dan suara ibu. Ia tidak otonom; ia mengikuti. Dan ketika sesuatu berubah—ketika tanah berpindah tangan, ketika agama datang membawa tatanan baru—tari pun bergeser. Cangget dan Sigeh Pengunten, yang menjadi akar motif gerak Torso, menyimpan riwayat itu: bentuk-bentuk yang pelan-pelan menyerap nilai baru, termasuk dari Islam, pada perjalanannya.
Barangkali, motivasi ini yang membuat Ayu, para kolaborator dan karyanya berbeda. Ayu sedang mengusahakan sesuatu yang lebih sulit: bukan sekadar memperkenalkan, tapi menata ulang. Membaca kembali nilai-nilai yang dulu dianggap utuh, dan menawarkannya dalam tubuh yang terus bergerak, mencari cara baru untuk pulang. Dalam Torso, Ayu tidak mau berbisik. Ia bicara lantang—melalui tubuhnya yang mengenakan busana merah cabai, ketat, tanpa ornamen, tanpa kerlip. Tak ada siger, tak ada sulam emas di dada. Tubuh perempuan tidak lagi disembunyikan di balik simbol. Ia ditampakkan, bukan sekadar diperlihatkan, tapi untuk mengatakan sesuatu.
Pilihan itu bukan tanpa perhitungan juga tak lepas dari konsekuensi. Kosagerak Ayu tetap dibangun dengan kesabaran seorang yang mengalami betapa diam bisa menyesatkan, seperti pada banyak pengalaman perempuan. Maka pada karya ini, banyak bagian, ia tuturkan jelas, nyaris tegas—seolah berkata: saya tidak ingin ditafsirkan, saya ingin didengar. Mengapa Ayu memilih ketegasan itu? Dalam percakapan kami setelah pementasan terakhir di Lampung, ia berkata: jika perempuan tak bersuara keras, suara mereka akan kalah—lebih lemah bahkan dari diam itu sendiri. Dan saya menyaksikan mencoba memahaminya lewat pengalaman tinggal yang terlalu sebentar di sini: sebuah wilayah yang dibentuk dalam riuh, dalam laju yang tak sempat menoleh. Sejak masa Orde Baru, Lampung adalah ruang transit yang tak pernah menetap—penuh perpindahan, penuh benturan. Di dalamnya, suara lembut adalah waswas.
Mungkin karena itu Ayu tidak menari mencari kebaruan gerak. Ia sedang menubuhkan sejarah, luka, dan gugatan—melalui tubuh yang tak ingin tunduk pada sejarah estetika. Dari titik ini, Ayu menelusuri perubahan yang terasa mendesak—membaca ulang tubuh perempuan Lampung beserta adat yang mengitarinya. Ia tidak sendiri. Ada Umi, ibunya—perempuan dari masyarakat adat Pepadun yang pernah mengalami perkawinan sebambangan, bukan karena cinta yang disambut, melainkan karena perbedaan cinta. Ia diculik, begitu istilahnya. Dalam kisah Umi, adat bukanlah pilihan, melainkan jalan sempit yang hanya bisa dinegosiasikan, tidak ditolak. Umi bernegosiasi melalui ruang-ruang domestic, sebagai istri dan sebagai ibu.
Ada pula Bu Nani, guru tari yang membuka ruang dialog. Di sanggar, ia tak membatasi metode Ayu, bahkan ketika Ayu menyampaikan kritik terhadap pakem tari Lampung—terutama tentang gerakan torso yang dianggap tak perlu. Walaupun sebagai pemilik sanggar, Bu Nani luwes membuka kemungkinan, tapi ia tetap Perempuan dalam tradisi Lampung. Dalam tradisi, tubuh perempuan harus menjunjung aturan—kostum beserta hiasannya tak boleh ada yang jatuh—bukan ekspresi. Menggerakan torso pada penari perempuan bisa menyebabkan perangkat adat jatuh, dan itu berarti sanksi. Tubuh pun ditertibkan agar tak mengganggu tatanan.
Ini yang tak sejalan bagi Ayu. Mengapa ruang bagi tubuh perempuan begitu sempit, padahal beban yang dibawanya begitu besar? Pertanyaan ini bukan baru. Tapi sering kali, ia lewat begitu saja—terasa, namun tak sempat disusun jadi kesadaran. Kita tahu ada sesuatu yang ganjil, tapi tak selalu tahu bagaimana menunjuknya. Proses berkesenian bekerja dalam ruang-ruang itu; untuk menawarkan nilai baru, menandai ketimpangan. Ayu menangkap celah—kecil, sama seperti cara Perempuan Lampung ditatap, tapi cukup untuk bertanya ulang. Sebab situasi yang selama ini diterima sebagai wajar, sering kali dibentuk oleh norma yang menutup kemungkinan lain.
Untuk sungguh mengungkap makna—bukan sekadar menyibak kulitnya yang tipis atau jatuh lagi ke dalam perangkap oposisi biner dalam menggugat—Ayu mungkin perlu kembali bertanya termasuk secara fisiologis. Ia dapat meneliti tubuhnya sendiri. Apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam tubuh itu? Dalam rahim yang berdenyut bukan hanya karena fungsi biologis, tapi dengan beban simbolis? Apakah ada sesuatu yang bergeser, halus, nyaris tak terdengar? Tubuh mungkin tahu lebih dulu sebelum bahasa sempat mengejanya. Sebab barangkali selama ini, pengalaman tubuh perempuan belum menemukan perangkat komunikasi dalam bahasa yang sanggup menampungnya. Bahasa kita terlalu kaku, terlalu logocentris, terlalu laki-laki. Maka tubuh perempuan sering dibungkam bukan dengan larangan, tapi dengan ketiadaan kata.
Torso punya potensi menyediakan cara atau ruang untuk membahasakannya, mengganggu norma yang tak lagi inklusif—terutama bagi perempuan dan kelompok yang dibungkam itu. Gangguan ini tak sekadar konseptual tapi juga didesain dalam proses kolaborasi di antara Ayu, Gelar, Nia, Rio, Nabila dan banyak lagi. Dalam proses penciptaan yang hidup, suara yang lain justru menjadi cermin, menjadi medan gesek, menjadi tekanan yang menyuburkan. Maka dua kolaborator: Soemantri Gelar, seniman visual dari luar Lampung dengan sensibilitas yang berbeda, dan Rio, seniman bunyi dan musik yang sama-sama besar di Kotabumi, adalah interupsi bagi proses penciptaan yang biasa Ayu lakukan. Perbedaan disiplin dan jarak pengalaman di antara mereka bukan sekadar latar belakang, tetapi material dialektika.
Di antara mereka, produser tak sekadar pelaksana teknis. Ia musti menjadi arsitek kemungkinan—memfasilitasi ruang pertemuan antara estetika dan dukungan, antara kebutuhan pencipta dan ekosistem kerja. Karya tak lagi berdiri sebagai ekspresi tunggal, tetapi medan negosiasi berlapis. Maka, kehadiran dramaturg menjadi signifikan. Nia Agustina, yang telah lama menyertai proses kreatif Ayu, membantu menyusun tafsir dan tegangan. Ia mengurai simpul-simpul yang muncul dari cerita personal, temuan riset, dan pilihan koreografi—agar kerja lintas batas ini tak larut dalam keasyikan menyulap kemungkinan, melainkan jernih sebagai percakapan.
Saya melihat, dari luar, bahwa Torso lahir dari ketegangan itu. Ayu yang kembali ke Kotabumi sejak tahun 2020, perlu keluar dari lingkar kenyamanannya di kampung halaman. Ia sempat mengakui: hidup di Lampung memberinya ritme yang stabil—sesuatu yang justru absen dalam perjalanan sebelumnya. Tapi keteraturan, sebagaimana dicatat banyak cerita, kadang tak cukup untuk mengguncang batas bentuk. Maka interupsi diperlukan sebagai denyut baru yang mendorong tubuh kreatifnya terus bergerak.
Dalam kerja dengan Gelar, ketegangan ini menemukan bentuknya. Proposal awal Ayu membayangkan visual sebagai “ilustrasi klinis”—penopang narasi tubuh. Namun Gelar menolak untuk sekadar mengikuti pesanan. Ia mengolah imaji menjadi bahasa yang puitik, kadang bahkan mendahului tubuh Ayu dalam menggerakan peristiwa. Tapi sebagai laki-laki yang merekam tubuh perempuan, Gelar menyadari biasnya. Ia meminta Ayu untuk memeriksa, menyunting, memberi mata kedua—agar tubuh yang terekam bukan tampil sebagai objek, melainkan sebagai kemungkinan. Dalam bentuk paling ekstrem, ia meninggalkan kamera di ruang kosong—membiarkannya merekam tanpa tatapan manusia, tanpa intensi dominan.
Bidang proyeksi yang non-geometris—dinding tak rata, pohon mangga, permukaan tanah—bukan sekadar estetika alternatif. Ia adalah strategi: untuk menjauh dari bentuk tubuh yang terang, tegas, dan bisa dikuasai. Sebab tubuh perempuan, dalam Torso, bukan pemanis belaka. Ia adalah teks yang hidup. Ia abstrak dan cair. Belum akan selesai sekalipun lampu, musik dan gerak berakhir.
Di Lampung, tempat ia lahir, karya ini menjadi ajakan: untuk menyaksikan tubuh bergerak, dan pulang dengan pikiran yang tergugah. Tentang siapa yang berbicara dalam tradisi. Tentang bagaimana tubuh menjadi teks dalam adat. Dan tentang cara-cara baru menyentuh ingatan kolektif. Namun Torso juga bekerja ke dalam: sebagai ruang bagi para pengkarya menegosiasikan peran, menyikapi interupsi, dan mengasah kesadaran atas kerja dramaturgi yang tak lagi tunggal. Di antara seniman, produser, dan dramaturg, kolaborasi bukan hanya proses berbagi, tapi juga proses bersilang: saling ganggu, saling tahan, saling tangkap.
Sebagai karya penerima hibah inovatif Kelola, lapisan kebaruan yang muncul–dari amatan luar–terjadi pada negosiasi sebuah “gangguan” dalam gagasan yang menemukan bentuknya meruang, di antara tim kerja dan dua versi pemanggungan. Untuk itu, saya ingin punya kesempatan melihat karya ini dipresentasikan di luar Lampung, membawa kesegaran dari sana ke tempat yang berbeda. Bagaimana Torso akan bekerja dalam lanskap yang lain—di bawah kurasi festival, institusi seni, atau wacana-wacana yang mungkin jauh dari tanah, tubuh, dan tradisi yang mula-mula menumbuhkannya? Apakah pertimbangan artistik yang partikular—yang dalam karya ini jelas bercakap dengan masyarakat Lampung—akan mengalami pergeseran ketika dipresentasikan di Jakarta, atau di ruang-ruang yang tidak memiliki kedekatan emosional maupun historis terhadap urgensi yang ditawarkan? Lalu, bagaimana seniman pencipta dan produser membayangkan kepenontonan, interaksi dengan masyarakat yang tidak hidup dalam tradisi yang sama, yang tidak beroperasi dalam sistem nilai serupa?
Saya tidak ingin tergesa menjawab. Tapi saya merasa—seperti perasaan yang datang dari tubuh sebelum akal—bahwa Torso sebaiknya dilihat sebagai pemantik, bukan sebagai tesis. Untuk tetap menawarkan kebaruan, ia tidak harus menjelaskan segalanya, tidak pula harus menjangkau semua. Ia perlu hadir dengan kesadaran bahwa setiap kolaborasi adalah Upaya meretas dan setiap ruang menuntut jenis perbincangan yang berbeda. Bahwa setiap audiens membawa sejarah, bias, dan bebannya sendiri. Pada situasi hari ini yang diliputi ketegangan dalam perang fisik dan perang gagasan terutama melalui penertiban narasi sejarah demi “representasi formal”, Torso menggelora. Ia menyimpan pengalaman-pengalaman tubuh dan cerita personal yang abai dilihat sebagai arsip. Torso adalah gangguan yang perlu: gangguan pada kebekuan, pada keteraturan narasi, pada sikap abai yang keterlaluan. Dan untuk itu, karya ini perlu dengan sabar bertumbuh dan terus berjalan.
