Oleh: Galih Prakasiwi
Catatan Pengamat untuk pertunjukan “Dark Solanum” karya Otniel Tasman, yang merupakan bagian dari Produksi Karya Inovatif.
Malam satu Sura (dalam kalender Islam dikenal sebagai Tahun Baru Hijriah) dari kampung hingga kawasan Keraton Yogyakarta menggelar acara untuk hening dan tirakat. Acara yang lekat dengan jamasan senjata ini juga jadi ruang refleksi antara diri dengan hal-hal yang ada di sekitar. Alih-alih rewang —ibu-ibu memasak bersama untuk konsumsi bapak-bapak tirakat Suran, saya memilih melangkahkan kaki ke Artjog. Tak seperti hari-hari biasa, Jogja National Museum (JNM) 26-27 Juni 2025 malam, jalan menuju pintu masuk padat mobil dan motor terparkir. Tukang parkir terlihat proaktif menawarkan kendaraan dengan teriakan lantang “Artjog.. Artjog..”, tangannya mengarahkan kendaraan merapat ke bahu jalan.
Otniel Tasman, seorang koreografer asal Banyumas, menampilkan karya “Dark Solanum” dua hari berturut-turut saat Jogja dilanda badai pelancong. Bagaimana tidak, waktunya tepat saat akhir pekan yang panjang dan libur sekolah. Sangat berbeda kondisinya saat datang ke Artjog di hari dan jam kerja. Meski secara kultural 1 Sura/1 Hijriah adalah waktu yang dihindari untuk menghelat perayaan, ruang pamer seni tahunan yang populer di Jogja ini, padat pengunjung. Antrian tampak mengular di loket pintu masuk. Tidak berbeda dengan panggung pertunjukan di belakang ruang pamer, pementasan penerima Program Karya Inovatif Yayasan Kelola ini padat pengunjung. Terlebih pada hari kedua. Di tengah lautan manusia dan keriuhan inilah, ritual personal intim bersama tomat dimulai.
Antara Otniel, Lengger, dan Tomat
Panggung temporer-outdoor Artjog mengahadap ke Timur, gelap, banyak kertas berserakan di area penonton, dua kertas terdekat tempat duduk saya, tertulis “I dismantle the world with the narrow categories that inhabit me” dan “With what voice do I speak?”. Jargon “Beyond the idea of queerness” dan tulisan-tulisan yang terserak itu terasa menjadi cara Otniel memperkenalkan isu karyanya sekaligus menarik penonton ke dalam ruang refleksi personal. Kata-kata yang terserak itu, bagi saya, terasa provokatif untuk menyuarakan keberadaan diri, pembongkaran norma dan identitas, serta gugatan pada peran yang mendominasi.
Lampu yang semula terang benderang pelahan padam, riuh suara penonton yang bercakap mulai mereda. Voice over terdengar memperkenalkan pertunjukan dan tata tertibnya. Di tengah kegelapan, Otniel datang dari sisi kanan-belakang penonton, menuju ke tengah dengan lampu khusus menyorot dirinya, lalu ia menghadap Agha sang pemusik yang menggunakan laptop sebagai instrumen. Jaket hitam mengkilap Otniel memantulkan bias cahaya saat ia menggerakkan badan tipis ke kanan, kiri, atas, bawah mengikuti tempo musik yang konstan. Sambil merokok, tampak punggung tangannya tertutup sarung tangan, sesekali ia mengacungkan dua jari lalu menggetarkannya, menebalkan kuku tangan berwarna hijau, sedang bibirnya merah merona. Seperti perpaduan warna tomat dan daunnya.
Otniel lalu berjalan ke area panggung, melepas jaket, melemparkannya ke sisi kanan-depan penonton. Tampak ia mengenakan kemben tanpa cup yang menutupi torso bawah. Babam, sang penata busana, mendesainnya dengan warna emas yang menonjolkan bagian dada terbuka. Saat pinggul Otniel bergerak ke kanan lalu kiri, bagian kemben yang menjorok di dada turut seolah membangun imaji keruangan bahwa diri Otniel tidak berbuah dada. Efek simultan maskulin-feminin tampak pada celana hotpants hitam beraksen kain tile di bagian bawah berpadu dengan ankle boots hitam.
Panggung serba putih setinggi betis itu tak lagi kosong, Otniel meloncat, menuju ke tengah. Pelahan sebuah tomat besar turun bergelantungan tepat di tengah panggung. Otniel berkenalan dengan entitas baru di atas panggung ini dengan memandang, membaui, menjilat, dan menggigit. Tomat itu berakhir dengan gigitan yang tak putus. Adegan ini menandai bagian baru yakni gerak sambil mengigit tomat. Bagian ini pun mengawali eksplorasi Otniel dengan properti tomat hingga akhir. Tomat menjadi properti pokok pertunjukan, sebagaimana nama solanum dalam judul karya. Solanum berarti kelompok besar genus tanaman berbunga dari kelompok terong-terongan seperti terong, kentang, dan tomat. Nama genus tersebut tersemat dalam nama latin untuk tomat yaitu Solanum lycopersicum. Dugaan saya, pemilihan tomat ini didasarkan pada dua hal yakni sifat/karakteristik bagaimana tomat dimaknai dan kebutuhan artistik.
Pertama, berdasarkan nama latin di atas, tomat pernah dikeluarkan dari keluarganya (Solanum) karena Miller (ahli botani Scotlandia) menganggap fisiknya “terlalu berbeda”. Namun, di akhir abad ke-20, para ilmuwan merevisi dan mengembalikan ke genus asalnya. Di sisi lain, tomat ialah salah satu komoditas holtikultura unggul di Indonesia yang di kancah dunia kategorisasinya mengalami ambiguitas. Secara botani, tomat termasuk dalam buah (berkembang dari ovarium bunga dan mengandung bji), tetapi dalam kasus Nix v. Hedden (1893) –putusan Mahkamah Agung AS– tomat secara hukum diklasifikasikan sebagai sayuran untuk keperluan tarif impor. Kerancuan penggolongan ini yang tampaknya juga menjadi cermin identitas Otniel. Titah AW dalam vice.id pernah meliput pernyataan Otniel yang menasbihkan dirinya pada identitas lengger, bukan laki-laki atau perempuan. Hal ini juga dikuatkan dengan tomat yang lahir dari bunga hermafrodit (memiliki benang sari dan putik dalam satu bunga yang sama). Ia adalah keduanya, sekaligus bukan keduanya.
Secara artistik, tomat memiliki warna merah mencolok di tengah panggung serba putih. Selain mengigitnya sendiri, Otniel juga beradu gigit tomat dengan Agha sang musisi. Setelah dihujani dua kali lima belas kilogram tomat, Otniel bermain-main dengan menusuk-nusuk tomat memakai telunjuk, menggilas dengan badan, menjepit dengan tungkai, memerasnya di area tubuh hingga selangkangan, melempar, menginjak, juga memakannya. Seolah tak satupun tomat ia biarkan utuh. Struktur dalam tomat yang lembek dan berair menimbulkan ekspansi makna dan garis gerak lanjutan dari percikan airnya. Secara indrawi, penonton juga disuguhkan bau khas tomat yang melumuri panggung dan tubuh Otniel. Tomat di sini terbaca sebagai penanda yang kuat, untuk membicarakan otonomi sekaligus kerapuhan, keliyanan sekaligus kekuatan.
Dari beberapa pertunjukan Otniel yang pernah saya tonton sebelumnya, busana dan gerak khas Lengger selalu termaktub dengan jelas di sana. Namun kali ini hingga menjelang akhir pertunjukan, hanya tersisa satu motif penthang dengan sikap tangan nyekithing/ngithing sapit urang lengkap disertai geol yang semakin cepat dan ekspresi senyum khas Otniel biasanya. Gerak pinggul dan getaran tubuh Otniel mendominasi karya ini. Hal ini saya baca sebagai pilihan Otniel untuk mengambil ruh gerak Lengger yakni geol dan getar sebagai penciri olah gerak dirinya. Kedua jenis gerak ini turut didukung secara emosional oleh musik digital karya Agha dan vokal seriosa Mariska. Tak rapat oleh kerumitan bunyi yang diproduksi oleh komputer Agha, tetapi justru ungkapan perasaannya mampu disatukan. Agha bermain-main dengan bunyi satu-dua instrumen saja di setiap bagian, bahkan ada juga bagiannya terdiam –membiarkan tubuh Otniel memproduksi imaji suara. Agha mengawali pertunjukan dengan duduk di area penonton, bertolak belakang dengan Mariska yang mengawali kemunculannya dari sudut kanan panggung. Mariska memasuki panggung dengan berjalan dan vokal sopran yang pulen. Otniel merespon dengan gerak pinggul, satu momen indah terjadi saat Mariska dan Otniel beradu hadap mengangkat kedua tangan dalam jarak sekitar satu meter. Dinamika pun terbangun saat Mariska tak hanya menyanyi, ia berbagi ruang suara dan bunyi dengan Agha melalui teriakan, desahan, tangisan, terengah dan tertawa.
Selain menjilat tomat, Otniel juga menjilati tubuhnya sendiri. Representasi kebinatangan dalam diri sebagaimana yang ia sampaikan dalam sesi diskusi. Secara biologis manusia masuk dalam kerajaan animalia (hewan) dengan genus homo. Kita satu-satunya spesies yang selamat, yang lain pernah hidup di waktu yang berbeda. Pernah ada masa di mana manusia dianggap sebagai entitas sentral dan menjadi tonggak cara pandang terhadap alam. Meskipun berada di kerajaan animalia, manusia selalu mencari perbedaan bahkan cenderung melihat hewan berada di strata yang lebih rendah. Dalam gerak an sich Otniel memunculkan perbedaan sekaligus pertemuan manusia dengan tanda-tanda kebinatangan.
Pembagian ruang ini juga terproyeksi dari tata lampu. Saat pertengahan, bias lampu membuat ruang untuk didatangi Otniel. Ia tampak tak ada saat lampu tak menyinarinya. Saat ia masuk dalam bias cahaya, tubuhnya bergetar dan kembali bermain-main dengan tomat. Bayangan diri Otniel yang terpantul pada kain hitam di kanan kiri panggung juga menarik, membuat ruang imaji refleksi diri dari sisi gelap berwarna hitam yang bentuknya kadang terdistorsi. Bayangan tidak memampukan kita untuk melihat detail lekuk tubuh dan warna, cara ungkap ini terbayangkan seperti kompleksitas identitas diri yang direduksi oleh pandangan luar. Momentum spektakel lain, yakni saat lampu berkedip cepat, Otniel berjalan mengitari panggung. Tubuh dan bias cahaya yang menempa dirinya membangun dampak imaji keruangan yang berbeda. Gerak tubuh yang mengalir tampak memiliki momen patahan. Melalui cahaya, Otniel bermain-main dengan persepsi dan alter ego yang diciptakan oleh tatapan orang lain.
Saya melihat dalam karya ini ada tiga entitas yang mewujud untuk menyatu yakni Otniel, Lengger, dan Tomat. Lengger tak hanya mengisi dari sisi gerak, secara eksistensial hadir dalam sesaji lengkap dengan bunga dan dupa di kiri panggung. Seluruh elemen artistik “Dark Solanum” menghubungkan ketiga entitas tersebut. Seluruh penampil, bahkan pemusik yang biasanya “di belakang” panggung, ada momen untuk tampil. Otniel berada di antara Agha dan Mariska, ia menempati posisi tengah di antara dua yang berbeda. Meski demikian, saya merasa ada paradoksal posisionalitas. Ada tegangan menarik di sana, Otniel di satu sisi menolak ‘queerness’, tetapi di sisi lain ia jg mengungkap kerapuhan dan perjuangan sang liyan, sebagaimana jantung dari gerakan queer. Paradoks ini memantik pertanyaan: sejauh mana sikap ini merefleksikan pergulatan posisi dan wacana (bahkan secara epistimologi) terhadap identitas queer dalam konteks Indonesia?
Paradoks itu juga membuat pilihan material dan eksekusi Otniel dipertanyakan. Pertama, sisi lain penggunaan tomat (dalam konteks bahan makanan) bertolak belakang dengan ibu-ibu rewang di dapur yang banyak berkeluh kesah melambungnya harga tomat saat itu. Sensitivitas yang tarik menarik di wilayah estetis, politis, dan etis terjadi. Apakah ketegangan antara panggung dan realitas domestik ini juga menjadi penajaman gagasan yang sengaja ditunjukkan untuk bersuara dalam pemborosan masif? atau secara empatik apakah memungkinkan untuk beralih pada pilihan tomat afkir? Pertanyaan pun kemudian meluas pada eksplorasi tubuh. Apabila penolakan label queer adalah bagian dari kesadaran politis, maka gerak berulang yang terkadang terasa tanpa tujuan saat bermain-main dengan tomat menjadi ambigu. Apakah ini proyeksi hasil akhir eksplorasi pencarian tubuhnya? Atau tanda bahwa kredo pertunjukan belum sepenuhnya menjadi penyangga gerak?
Eksperimentasi yang Disasar, Uji Coba “Liyan”
Pembicaraan soal queer di lanskap Indonesia sungguh rumit, Parebong (2024) misalnya, membicarakan bagaimana pemahaman queer sangat dipengaruhi oleh Barat sepaket dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat kulit putih. Tatapan yang dilayangkan pada pertunjukan Otniel di Jerman sebagai “queer performance” membuatnya membicarakan “Dark Solanum” dengan tajuk “Beyond the idea of queerness”. Bagi saya ini terasa seperti cara Otniel mengungkap gestur dekolonisasi pengetahuan atas queer, ia ingin menunjukkan pengalaman di luar kategorisasi cara tatap yang asing. Secara kultural dan spiritualitas, Indonesia memiliki beragam pertunjukan yang menempatkan tubuh nonbiner sebagai shaman yang suci. Namun, seiring lunturnya agama lokal dan pengaruh politik negara, kondisi penerimaan dan kepercayaan masyarakat terhadapnya di beberapa tempat tak lagi sama. Kehadiran “Dark Solanum” potensial menjadi tawaran eksperimentasi entitas otniel dan lengger pada kondisi terkini penonton Indonesia.
“Dark Solanum” diterima penonton sebagai ‘seni’ dan ‘budaya’ yang terpisah dari ‘agama’, padahal bagi Otniel –sebagaimana judul bukunya: Lengger adalah agamanya. Karya ini menunjukkan bagaimana Lengger (yang bagi saya tidak tunggal) ada di dalam dirinya. Momentum pertemuan dengan penonton menjadi krusial, titik temu spiritualitas personal berhadapan dengan tatapan personal dan kolektif penontonnya. Keragaman audiens Artjog menjadi ruang negosiasi pemaknaan yang kompleks. Ada yang dengan sengaja datang untuk menonton karya yang diproduseri oleh Dina Triastuti ini secara gratis, tetapi banyak pula yang sekadar mampir usai berkeliling menonton pameran. Sulit sebenarnya untuk menyeleksi penonton yang cukup usia, mematuhi peringatan untuk tidak mengambil foto/video, atau yang tak mengalami gangguan akibat penggunaan strobo. Namun, karena areanya terbuka, penonton memiliki kebebasan untuk keluar masuk bahkan selama pertunjukan berlangsung.
Inklusivitas pun tampak saat beberapa teman tuli datang di hari pertama pementasan. Secara aktif, tiga di antara mereka menyampaikan pengalaman menonton. Mereka menikmati dan takjub dengan pertunjukan yang disuguhkan. Meskipun dinikmati tanpa suara, kinetik dan visual yang hadir di atas panggung rupanya mampu mengirimkan resonansinya. Berbeda dengan hari kedua, saya berdiri menonton di barisan paling belakang. Nyaris tak bisa melihat sosok Otniel, tetapi saya terbantu dengan beberapa penonton yang berusaha melihat juga dengan mengaktifkan kamera melalui layar ponsel. Sembari menonton saya mendengar celetukan “wah bakteri”, “diinjak, dimakan, diinjak, dimakan” lalu yang lain menanggapi “ora mangan rong tahun po yo kae? (apakah dia tidak makan selama dua tahun?)”, saat mendengar bunyi asing, gadis itu melihat ke arah Agha dan Mariska lalu berbicara pada kawannya “Oh musiknya di situ eh”. Selesai pertunjukan Otniel, keempat perempuan berjilbab itu bertepuk tangan, salah satunya seraya berkata “Wah.. big applause!”. Respons ini menunjukkan keaktifan penonton, ada hal ekstradaily yang membuat tak nyaman, keabstrakan yang sulit dimengerti membawa pandangan teknis, hingga akhirnya mengapresiasi “ketidakbiasaan” itu.
Akhirnya saya merasa, kehadiran Dark Solanum (bukan hanya karyanya, tapi ruang temu dalam pertunjukan) menawarkan refleksi ruang antara dalam diri manusia. Mungkin tak disengaja, tapi senada dengan peringatan Suran. Ia adalah undangan tirakat untuk membangun dialog dalam diri menyoal kemanusiaan, identitas sosial, dan citra.
